Prospek Ekonomi 2026: Menavigasi Permintaan Kredit yang Melambat
PERBANAS menggelar Economic Outlook 2026 dengan tema “Navigating Slower Demand for Credits in a Changing Economy”. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Perekonomian Indonesia di tahun 2025 menunjukkan resiliensi di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan tetap terjaga di kisaran 5,0–5,2% (yoy), dengan investasi dan ekspor sebagai penopang utama, meskipun konsumsi rumah tangga relatif stagnan bahkan cenderung melemah.
Inflasi terkendali di bawah 3%, sejalan dengan terjaganya pasokan pangan, normalisasi harga energi global, dan konsistensi kebijakan moneter Bank Indonesia. Nilai tukar Rupiah bergerak di kisaran Rp16.100 – 16.700 per USD, meskipun tetap menghadapi tekanan dari arah kebijakan The Fed, arus modal global, dan dinamika domestik.
Penyaluran kredit pada tahun 2025 menghadapi berbagai tantangan. Hal ini dipengaruhi khususnya oleh melemahnya daya beli masyarakat yang menyebabkan permintaan atas kredit menurun drastis. Alhasil, realisasi pertumbuhan kredit pun diproyeksi berpotensi lebih rendah dari target dan tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, tingkat kesehatan perbankan masih tangguh. Rasio kecukupan modal (CAR) tetap di level 25%, dengan kualitas aset terjaga tercermin dari NPL sekitar 2,2%. Tantangan utama justru terletak pada mismatch antara struktur pendanaan dan kebutuhan pembiayaan: pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) cenderung lebih lambat dibandingkan kebutuhan ekspansi kredit.
Tren ini diperparah dengan sumber dana yang didominasi oleh jangka pendek tidak sejalan dengan kebutuhan pembiayaan yang banyak bersifat jangka panjang, khususnya untuk sektor perumahan, UMKM dan perdesaan, infrastruktur, hingga berbagai proyek berskala besar.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai paket ekonomi 2025–2026, mulai dari dukungan fiskal untuk UMKM, insentif pajak sektor padat karya, hingga program ketenagakerjaan dan perumahan.
Selain itu, langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menginjeksi Rp200 triliun dana pemerintah dari BI ke perbankan dinilai sebagai kebijakan progresif untuk mempercepat belanja negara, memperkuat transmisi moneter, menurunkan biaya dana, serta memperluas penyaluran kredit ke sektor riil. Namun, tantangan struktural tetap nyata: meningkatnya kebutuhan pembiayaan jangka panjang, sedangkan ketersediaan dana lebih bersifat jangka pendek. Hal ini berimplikasi pada pentingnya strategi pendalaman pasar keuangan dan diversifikasi sumber pendanaan.
Dalam konteks ini, peran perbankan sebagai lembaga keuangan terbesar menjadi vital: menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang agresif, inklusif, dan berkelanjutan. Economic Outlook 2026 PERBANAS memandang penting untuk mengkaji pelemahan permintaan kredit sekaligus menganalisis dinamika ekonomi nasional secara lebih komprehensif, sebagai landasan kuat dalam merumuskan kebijakan dan strategi perbankan yang lebih adaptif dan berdaya saing dalam menghadapi tantangan tahun 2026.
Untuk itu, PERBANAS menggelar Economic Outlook 2026 dengan tema “Navigating Slower Demand for Credits in a Changing Economy” pada Rabu, 10 Desember 2025 di Ballroom Menara BRILian Lt. 3, Jalan Jenderal Gatot Subroto No.177A, Jakarta Selatan.
Ada tiga tujuan diselenggarakannya kegiatan ini. Satu, untuk mengevaluasi capaian kinerja perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2025, termasuk peta risiko domestik (khususnya pelemahan daya beli) dan global (termasuk konflik konflik geopolitik). Dua, membahas peran dan strategi perbankan dalam memperkuat intermediasi, khususnya melalui pengelolaan mismatch antara dana dan pembiayaan perbankan. Tiga, merumuskan strategi aplikatif bagi industri perbankan dalam menghadapi tantangan 2026, termasuk arah kebijakan fiskal–moneter, dinamika pasar keuangan, serta kebutuhan pemenuhan dana dan skema pembiayaan pembangunan nasional.
Pelemahan Permintaan Kredit dan Dual Track Dalam Economic Outlook 2026 ada beberapa narasumber yang hadir memberikan paparan, antara lain, Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Anggota Dewan Komisioner OJK yang membawakan materi ”Arah Kebijakan Sektor Perbankan 2026”; Hery Gunardi, Ketua Umum PERBANAS yang menyampaikan “Perkembangan Perbankan Nasional”; dan Aviliani, Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi dan Perbankan PERBANAS yang mempresentasikan Kajian Tematik PERBANAS.
Hadir juga Enrico Tanuwidjaja, Economist PERBANAS dan UOB menyampaikan “Prospek Perekonomian 2026”; Shinta Kamdani, Ketua Umum APINDO yang menyampaikan “Prospek Bisnis 2026: Peluang dan Tantangan Bagi Dunia Usaha; Tari Lestari, Direktur Perencanaan Fiskal, Moneter, dan Sektor Keuangan BAPPENAS yang menyampaikan “Bauran Kebijakan Fiskal dan Moneter Mendorong Ekonomi 2026”; dan Burhanuddin Muhtadi, Founder Indikator Politik Indonesia yang menyampaikan “Arah Kebijakan Politik 2026”, serta Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata yang bertindak sebagai moderator.
Dalam paparannya, Hery Gunardi menyampaikan, perbankan secara umum optimistis kondisi ekonomi 2026 akan membaik dibanding 2025. "Hal ini tercermin dari proyeksi seluruh anggota kami yang melihat pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,0–5,2%," ujar Hery Gunardi.
Kinerja perbankan, kata dia, juga diperkirakan membaik. Kredit optimistis akan tumbuh belum double digit. Proyeksinya, pertumbuhan kredit 2026 akan lebih tinggi daripada 2025, namun masih tertahan karena permintaan kredit terkena “double hit”: di satu sisi, melemahnya daya beli konsumen, di sisi lain karena tertahannya ekspansi/investasi dunia usaha. "Memulihkan sisi demand inilah yang menjadi kunci agar intermediasi kembali kuat dan perekonomian kembali tumbuh cepat," tegasnya.
Menurut Aviliani, untuk membangkitkan kembali permintaan, strategi utama pemerintah adalah mendorong “dual track economy”, yaitu tidak hanya fokus pada hilirisasi sektor padat modal (seperti tambang dan migas) tetapi sekaligus menghidupkan sektor padat karya (manufaktur, pertanian, makanan-minuman, konstruksi, dan perdagangan).
"Sektor ini krusial karana 75% masyarakat bekerja di sektor padat karya, dan lebih dari 60% PDB serta kredit perbankan bersumber dari sektor-sektor ini; sehingga sedikit saja sektor padat karya terungkit, efek bergandanya (multiplier effects) terhadap perekonomian akan sangat besar," papar Aviliani.
Sebaliknya, kata dia, sektor padat modal hanya menyerap sekitar 2% tenaga kerja. Konsekuensinya, jika kebijakan hanya mengarah ke padat modal, manfaatnya akan lebih banyak dirasakan segelintir kelompok, meskipun sektor ini tetap penting untuk mendorong transformasi ekonomi menuju bernilai tambah lebih tinggi.
Related News
Dua Kontainer Ekspor Udang Bersertifikat Bebas Cs-137 Lolos di AS
Polisi Tangkap Dirut Terra Drone, Jadi Tersangka Kasus Kebakaran
OTT ke-8 KPK 2025, Menjaring Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya
Bencana Longsor Kerap Landa Bandung Raya, Ini Solusi Gubernur KDM
KPK Rilis Bupati Lampung Tengah, Adik dan Anggota DPRD Jadi Tersangka
Bertemu Prabowo, Putin Janji Bantu Kembangkan Tenaga Nuklir RI





