QRIS dan GPN Khawatirkan AS, BI Tegaskan Prinsip Kesetaraan

Bank Indonesia (BI) memberikan respon atas kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap sistem pembayaran Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN)
EmitenNews.com - Bank Indonesia (BI) memberikan respon atas kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap sistem pembayaran Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang dinilai sebagai hambatan perdagangan sebagaimana tertuang dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025.
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, saat dimintai tanggapannya di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/4) tidak memberikan komentar spesifik terkait laporan tersebut. Namun ia menegaskan bahwa penerapan sistem pembayaran nasional seperti QRIS dan layanan pembayaran cepat lainnya didasarkan pada prinsip kerja sama yang setara dengan negara mitra.
"QRIS atau fast payment lainnya, kerja sama kita dengan negara lain itu tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi kita tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa tidak?" ujar Destry.
Destry juga memastikan bahwa sistem pembayaran internasional asal AS seperti Visa dan Mastercard tetap berjalan lancar di Indonesia, meski Indonesia telah memiliki sistem pembayaran domestik melalui GPN. Kedua sistem pembayaran tersebut, menurutnya, masih mendominasi transaksi kartu kredit di Tanah Air.
"Visa, Mastercard sampai sekarang masih dominan. Jadi itu sebenarnya tidak ada masalah," jelas Destry.
Bank Indonesia (BI) telah menetapkan sejumlah aturan ketat untuk memperkuat sistem pembayaran nasional. Namun, kebijakan ini menuai sorotan dari berbagai pihak, termasuk perusahaan pembayaran asal Amerika Serikat yang menganggap adanya keterbatasan akses dan kurangnya pelibatan dalam proses penyusunan aturan.
Dalam laporan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang dirilis tahun Mei 2025, menjabarkan mengenai Peraturan BI No. 19/8/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Dalam aturannya, semua transaksi debit dan kredit ritel domestik wajib diproses melalui lembaga switching GPN yang berbasis dan berizin di Indonesia. Tidak hanya itu, kepemilikan asing dalam perusahaan switching dibatasi maksimal 20 persen.
"Kebijakan ini secara otomatis membatasi peran perusahaan asing dalam memproses transaksi ritel domestik, termasuk melarang layanan pembayaran lintas batas untuk kartu debit dan kredit," demikian pandangan Amerika Serikat dalma laporan yang dikutip pada Minggu (20/4).
Tak hanya soal kepemilikan, lewat Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017, perusahaan asing juga wajib menjalin kemitraan dengan lembaga switching lokal berizin jika ingin ikut memproses transaksi domestik. Setiap perjanjian kemitraan harus mendapat persetujuan BI, yang hanya akan diberikan jika perusahaan asing mendukung pengembangan industri dalam negeri, misalnya lewat transfer teknologi.
QRIS dan Kekhawatiran Minimnya Keterlibatan Internasional
Masuknya era pembayaran digital dengan QR code juga tak lepas dari regulasi. Pada 2019, Indonesia meluncurkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) melalui Peraturan BI No. 21/2019 sebagai standar nasional untuk seluruh pembayaran berbasis QR di Tanah Air.
Namun dalam proses perumusan kebijakan QRIS, perusahaan pembayaran asing, termasuk dari AS, merasa tidak dilibatkan secara optimal. Mereka mengaku tidak mendapat cukup informasi mengenai perubahan yang akan diberlakukan, maupun kesempatan untuk memberikan masukan terkait interoperabilitas sistem QRIS dengan sistem pembayaran internasional yang sudah ada.
Langkah BI untuk memperkuat kedaulatan sistem pembayaran berlanjut dengan diterbitkannya Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020 sebagai bagian dari Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025. Aturan ini mulai berlaku pada Juli 2021 dan memperkenalkan sistem klasifikasi berbasis risiko serta model perizinan baru.
Namun, satu hal yang kembali menjadi sorotan adalah soal pembatasan kepemilikan asing. Untuk operator layanan pembayaran nonbank (front-end), investor asing hanya diperbolehkan memiliki maksimal 85 persen, dengan batas 49 persen saham yang memiliki hak suara. Sementara untuk perusahaan infrastruktur pembayaran (back-end), batas asing tetap di angka 20 persen.
"Minimnya konsultasi dari BI menjadi salah satu hambatan dalam menciptakan sistem pembayaran yang inklusif dan kompetitif secara global".(*)
Related News

Menkop: Kopdes Merah Putih Ciptakan 1-2 Juta Lapangan Kerja

IHSG Ditutup Melesat 1,43 Persen, Saham Tambang Pemicunya

Tony Blair Sokong Komdigi Percepat Layanan Pemerintah Berbasis Digital

Ekspor Produk Kulit 2024 Naik 8 Persen, Capai USD4,6 Miliar

Hormati Proses Hukum, Bank DKI Ajak Publik Tunggu Hasil Tes Forensik

IHSG Naik 0,89 Persen di Sesi I, 8 Sektor Pemicunya!