EmitenNews.com -Dalam beberapa tahun terakhir, minat masyarakat terutama generasi milenial dan Gen-Z terhadap dunia investasi semakin meningkat. Hal ini tidak lepas dari kondisi ekonomi yang tengah melemah, di mana banyak sektor mengalami tekanan yang berakibat meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK), melemahnya daya beli masyarakat, hingga depresiasi nilai tukar rupiah. Situasi ini mendorong masyarakat mulai memikirkan bagaimana uang mereka tetap bertumbuh di masa mendatang dan tidak tergerus inflasi.

Inflasi membuat nilai rupiah melemah setiap tahunnya. Namun, dengan berinvestasi akan mendapatkan pertumbuhan nilai aset yang mengalahkan dari nilai inflasi itu sendiri. Sebagai ilustrasi, jika inflasi tahunan sebesar 3% dan invetasi kita di reksa dana memberikan imbal hasil 6%, maka kita tidak hanya mampu mengalahkan inflasi, tetapi juga memperoleh surplus 3%. Mungkin pertumbuhan investasi hanya 3% dan terlihat tidak terlalu signifikan, tapi nilainya akan compounding setiap tahunnya,

Namun, sebagian orang mengharapkan imbal hasil yang lebih tinggi, bahkan di atas 10% setiap tahunnya. Maka dari itu mereka mulai menaruh dananya untuk diinvestasikan di instrumen pasar saham. Ini relevan dengan istilah “high risk high return”, yang artinya ketika kita ingin mendapatkan imbal hasil yang tinggi, maka kita harus siap akan resiko yang tinggi pula. Dalam konteks saham adalah naik turunnya harga atau biasa disebut volatilitas harga saham.

Dalam dunia saham, fluktuasi harga merupakan sesuatu yang wajar. Naik turunnya harga saham sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar, yakni supply and demand, serta volume perdagangan khususnya dari para investor besar. Namun dibalik itu semua, setiap eksekusi pembelian saham harus melewati berbagai analisa, salah satunya yaitu sentimen pasar.

Sentimen pasar merupakan persepsi atau bisa juga diartikan sikap pelaku pasar terhadap suatu isu atau informasi tertentu, baik sentimen yang bersifat positif maupun negatif. Sentimen ini terbagi menjadi dua faktor besar, faktor internal dan eksternal.

Faktor internal berhubungan dengan kinerja perusahaan itu sendiri, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan kondisi makro ekonomi baik di Indonesia maupun global. Faktor internal salah satu contohnya adalah ketika ada aksi korporasi seperti pembagian deviden, right issue, stocksplit, dan juga rilisnya laporan keuangan. Sedangkan faktor eksternal contohnya yang baru saja terjadi di bulan April kemarin ketika Trump menetapkan tarif ke negara lain yang selanjutnya berakibat terjadi perang dagang dengan China. Contoh yang lain yang terbesar yaitu saat terjadi Covid-19, atau yang paling sederhana yaitu naik turunnya barang komoditas dunia seperti emas, batu bara, mineral dan lainnya.

Jika melihat dari historical beberapa tahun yang lalu, ada sentimen yang memang benar-benar bisa terlihat jelas oleh semua orang. Berikut saya sajikan beberapa studi kasus di beberapa tahun ini. 

Pertama, saat pandemi COVID-19 orang sulit untuk berinteraksi secara langsung termasuk dalam transaksi keuangan dan perbankan. Sehingga transaksi digital pada saat itu meningkat dengan pesat. Sentimen ini membuat lonjakan harga saham bank-bank digital yang sebelumnya stagnan. Ibarat uang 1 Miliar didistribusikan ke 10 emiten saham bank digital apapun, kesepuluh saham tersebut pasti akan terbang. Dalam waktu satu hingga dua tahun, saham-saham tersebut mengalami lonjakan harga hingga 200% bahkan ada yang lebih dari 500%. Ini membuktikan bahwa sentimen positif dapat menciptakan peluang cuan yang sangat besar.

Kasus kedua yaitu melonjaknya harga saham perusahaan tambang emas di tahun 2025 ini. Hal ini berawal dari ketidakstabilan ekonomi di Indonesia pasca dilantiknya Presiden Indonesia di bulan Oktober 2024. Kebijakan pemerintah baru yang dinilai tidak mempunyai dampak bagi ekonomi, dan ditambah berbagai pernyataan publik pemerintah yang sangat jelek memicu kekhawatiran investor yang mengakibatkan IHSG tertekan dan melemah. Masayarakat kemudian beralih memindahkan dananya ke instrumen atau aset yang lebih aman seperti emas. Perilaku ini membuat permintaan emas menjadi sangat tinggi. Sentimen ini berdampak pula ke saham perusahaan tambang emas dan terjadi lonjakan harga yang luar biasa. Dalam rentang waktu Januari hingga April, saham HRTA mengalami kenaikan tertinggi mencapai 80%, disusul ANTM 70% dan saham lain sepeti BRMS, PSAB, ARCI juga mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan.

Kasus ketiga yaitu saham komoditas atau saham yang bersifat siklus. Saham komoditas yaitu berisi perusahaan yang berfokus pengelolaan komoditi seperti emas, batu bara, gas alam, minyak bumi, palm oil dan sebagainya. Sebenarnya saham komoditas ini merupakan saham-saham yang menjadi fundamental ekonomi Indonesia, dikarenakan negara kita kaya akan sumber daya alamnya. Namun, sektor ini memiliki kelemahan yaitu harganya yang bergantung dengan harga komoditi dunia. Contoh, apabila harga batu bara dunia turun, maka saham batu bara juga akan mengalami penurunan karena proyeksi revenue dipastikan akan berkurang dan berlaku juga sebaliknya. Situasi ini terjadi nyata di tahun 2022 ketika harga batu bara mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Semua saham batu bara seperti ADRO, PTBA, ITMG, BUMI dan lainnya tanpa terkecuali mengalami lonjakan harga yang luar biasa. Sentimen ini lah yang bisa mempengaruhi pelaku pasar untuk mengakumulasi saham tersebut. Yang terpenting dalam membeli saham komoditas adalah pemilihan waktu (timing) masuknya. Semakin awal kita masuk, maka potensi cuan akan semakin tinggi. Jangan sampai ketika harga saham sudah dipucuk, kita malah baru beli. Kita akan kehilangan momentum dan beresiko kerugian.

Memahami sentimen pasar bisa menjadi strategi sederhana namun sangat efektif untuk meraih keuntungan di pasar saham. Bahkan tanpa harus membuat analisa teknikal atau fundamental secara mendalam, cukup dengan mengetahui katalis atau sentimen besar yang berlaku di pasar. Namun, tentu saja pasar saham tetap merupakan instrumen dengan risiko tinggi. Maka, kehati-hatian dan kebijaksanaan dibarengi dengan pengetahuan yang cukup tetap menjadi kunci utama dalam berinvestasi.