Sedangkan RDF hanya dapat mengolah sampah maksimal 30%, sehingga sisanya harus diolah kembali dan tetap menjadi timbulan sampah di TPA sehingga sampah tidak cepat terurai dan berpotensi menimbulkan tumpukan sampah kembali. Selain itu proses pengeringan sampah melalui fasilitas RDF butuh waktu yang relatif lama, sementara timbulan sampah di Jakarta tiap harinya bertambah dalam jumlah besar. 

 

Ditambah lagi, tidak semua jenis sampah bisa diolah dengan teknologi pengeringan RDF. Dia mencontohkan, hanya 10% kadar air dari tongkol jagung yang bisa dikeringkan melalui RDF. Sisanya, sebesar 90%, tetap menjadi sampah yang tidak terolah. Dari hasil pembakaran sampah, dengan ITF atau insinerator hasilnya langsung dikonversi menjadi listrik yang bisa digunakan untuk konsumsi internal (menekan biaya operasional) maupun dijual ke perusahaan lain (industri terdekat maupun PLN). 

 

Sedangkan RDF hasilnya berupa biopelet untuk dijual ke PLN sebagai co-firing atau pembakaran bersama di PLTU batubara sehingga memperpanjang umur PLTU Batubara yang sebenarnya dalam proses dipensiunkan. Ali mendorong pemda DKI Jakarta agar segera melanjutkan rencana sebelumnya yang akan mengoperasikan proyek Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara (FPSA) atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di beberapa titik di Jakarta. 

 

Proyek yang menggunakan teknologi insinerator atau moving grate incenerator dinilai lebih efektif mengurangi timbunan sampah di Jakarta saat ini maupun di masa mendatang. 

 

Ali menilai, rencana penggunaan RDF tidak seharusnya menghentikan pembangunan insinerator. Sebelumnya Haru mengatakan, melalui perbaikan Perpres nomor 35 tahun 2018, penanganan sampah di Jakarta akan lebih fleksibel menyesuaikan kondisi di daerah masing-masing. 

 

"Terkait fleksibilitas untuk menyelesaikan sampah, jadi pake teknologi apa aja sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, misalnya Medan pakai apa, Jakarta cocoknya RDF ya RDF, Surabaya cocoknya pakai teknologi ITF, ya, silakan," jelasnya.