EmitenNews.com - Muhammad Riza Chalid, dan anaknya, Muhammad Kerry Andrianto Riza, dua tersangka kasus tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) 2018-2023. Mereka merupakan dua orang dari 18 tersangka yang diungkapkan Kejagung dalam kasus korupsi tersebut. Ayah dan anak itu, menurut Kejaksaan Agung memiliki peran berbeda dalam praktik korupsi itu. 

Informasi yang dikumpulkan sampai Minggu (13/7/2025), penyidik Kejagung lebih dahulu menetapkan Kerry sebagai tersangka. Begitu ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Februari 2025, sang anak segera diamankan dan ditahan di Rutan Salemba. 

Bersama Kerry, kejaksaan juga menangkap 8 tersangka lain. Mereka adalah Riva Siahaan (RS) Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin (SDS) Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan Yoki Firnandi (YF) Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. 

Berikutnya, Agus Purwono (AP) VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional; Maya Kusmaya (MK) Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga; dan Edward Corne (EC) VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga. 

Kemudian, Dimas Werhaspati (DW) Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak. 

Sementara itu, pada 10 Juli 2025, Kejagung menetapkan Riza Chalid sebagai tersangka bersama 8 orang lainnya. Delapan tersangka itu segera diamankan, namun Riza kini masih buron. Ia diketahui sudah lebih dahulu berada di Singapura sebelum status hukumnya itu diumumkan.

Dalam kasus korupsi itu, Kejagung menyebut total kerugian kuasa negara mencapai Rp193,7 triliun. Jika dirinci, berupa kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, dan kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker Rp2,7 triliun. 

Penyidik mengungkapkan, Kerry merupakan beneficial owner alias pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa, perusahaan yang mengoperasikan kapal tongkang, tanker minyak, tunda, dan pengangkut gas. 

Dalam kasus korupsi ini, perusahaan itu berperan sebagai broker dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang Pertamina subholding 2018–2023. 

Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyampaikan, Kerry menjadi salah satu pihak yang diuntungkan dari hasil mark up kontrak pengiriman dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang oleh Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF). 

Dalam konferensi pers 25 Februari 2025, Abdul Qohar menyatakan, negara harus mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen akibat mark up kontrak shipping atau pengiriman tersebut. "Sehingga Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.”

Perbuatan melawan hukum tersebut membuat komponen harga dasar yang dijadikan acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat menjadi lebih tinggi. HIP menjadi dasar pemberian kompensasi dan subsidi BBM setiap tahun melalui APBN. 

Kejagung mengungkap negara mengalami kerugian keuangan Rp193,7 triliun

Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan Rp193,7 triliun. Kerugian terdiri atas kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun. Kemudian, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar 126 triliun, serta kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Dari pengembangan kasus ini, nama Riza Chalid kemudian muncul setelah Kejagung sempat menggeledah dua rumahnya pada 25-27 Februari 2025. Rumah pertama yang digeledah adalah di Jalan Jenggala II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rumah ini dipakai sebagai kantor oleh para broker minyak termasuk Kerry. 

Dari penggeledahan itu, penyidik menyita uang tunai Rp883 juta dan USD1.500, 34 box ordner, 89 bundel dokumen, dan 2 unit CPU.