EmitenNews.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan cacar monyet atau Monkeypox (Mpox) sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC). Keputusan itu diambil setelah terjadi peningkatan signifikan kasus Mpox di Republik Demokratik Kongo dan sejumlah negara Afrika lainnya.


Merespons penetapan itu, Pelaksana Harian (Plh) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Yudhi Pramono, menegaskan bahwa Indonesia akan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan untuk menghadapi potensi penyebaran Mpox.


"Pemerintah Indonesia melalui Kemenkes meningkatkan kewaspadaan dan menyiapkan langkah-langkah kesiapsiagaan serta respons terhadap Mpox yang telah kembali ditetapkan sebagai PHEIC oleh WHO," ujar Yudhi seperti yang dikutip InfoPublik pada Selasa (20/8/2024).


Di Indonesia, Mpox telah dikategorikan sebagai Penyakit Emerging Tertentu Berpotensi Wabah, dan upaya penanggulangannya telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/1977/2022.


Yudhi menjelaskan bahwa antisipasi dilakukan dengan memperketat pengawasan terhadap orang, alat angkut, barang, dan lingkungan di pintu masuk negara, terutama yang berasal dari negara-negara terjangkit. Selain itu, peningkatan surveilans penyakit Mpox di pintu masuk dan wilayah menjadi prioritas.


"Kami juga memperkuat koordinasi kesiapsiagaan dan respons dengan para pemangku kepentingan terkait di pintu masuk negara serta meningkatkan edukasi dan komunikasi risiko bagi masyarakat," tambah Yudhi.


Penetapan status PHEIC ini merupakan yang kedua kalinya dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, pada Juli 2022, WHO juga menyatakan status darurat serupa akibat penyebaran Mpox yang meluas ke berbagai negara di luar Afrika, di mana virus tersebut sebelumnya tidak pernah terjadi. Status PHEIC tersebut kemudian dicabut pada Mei 2023 setelah terjadi penurunan kasus secara signifikan di seluruh dunia.


Sejalan dengan keputusan WHO, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (Africa CDC) juga menyatakan status darurat Mpox di Afrika sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat untuk Keamanan Kontinental (Public Health Emergency of Continental Security/PHECS) pada 13 Agustus 2024.


Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan, Achmad Farchanny Tri Adryanto, menambahkan bahwa peningkatan pengawasan di pintu masuk negara dilakukan melalui skrining suhu menggunakan thermal scanner. Selain itu, kewaspadaan terhadap penyebaran kasus Mpox juga dilakukan dengan pemantauan visual terhadap tanda atau gejala penyakit tersebut pada pelaku perjalanan.


Berdasarkan laporan “Technical Report Mpox di Indonesia Tahun 2023” yang diterbitkan Kemenkes pada 2024, surveilans Mpox di Indonesia diperkuat melalui deteksi kasus aktif di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama pada kelompok berisiko tinggi. Mayoritas kasus ditemukan pada pasien dengan orientasi homoseksual (LSL), dan setiap penemuan kasus dilakukan penyelidikan epidemiologi serta pelacakan kontak.


Sepanjang 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2024, WHO menerima laporan total kumulatif 99.176 kasus konfirmasi Mpox, termasuk 208 kematian dari 116 negara di Wilayah Regional WHO. Pada Juni 2024 saja, dilaporkan 934 kasus baru dan 4 kematian dari 26 negara, dengan sebagian besar kasus baru berasal dari Afrika (61 persen), diikuti oleh Amerika (19 persen), dan Eropa (11 persen).


Menurut laporan WHO “Multi-country outbreak of mpox. External Situation Report 35” yang diterbitkan pada 12 Agustus 2024, wilayah Regional Afrika melaporkan peningkatan jumlah kasus Mpox, dengan 567 kasus pada Juni 2024 dibandingkan 465 kasus pada Mei 2024. Sebagian besar kasus konfirmasi Mpox (96 persen) di wilayah Afrika dilaporkan dari Republik Demokratik Kongo.


Semua sekuens dari kasus wabah Mpox di Afrika Tengah dan Timur adalah varian virus Mpox (MPXV) Clade I, yang dianggap lebih parah dibandingkan Clade II, dengan kecenderungan sakit berat dan tingkat kematian lebih tinggi. Adapun, sekuens MPXV di Indonesia yang tercatat pada Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) pada 2023 berjenis Clade IIb, yang memiliki kecenderungan gejala ringan dan tingkat kematian rendah.(*)