EmitenNews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU Cipta Kerja yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021) itu, tidak bulat. Terjadi perbedaan pendapat, atau dissenting opinion dalam pengambilan keputusan. Empat hakim konstitusi menyatakan omnibus law bisa diterapkan di Indonesia.


Hakim konstitusi Anwar Usman dan Arief Hidayat berpendapat Omnibus Law yang dalam pembentukannya diwarnai berbagai demo itu, bisa dipraktikkan di Indonesia. Praktik Omnibus Law yang sudah menjadi hukum kebiasaan pada sistem common law ini, kata mereka, dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan.


Seperti Anwar Usman, Arief Hidayat mengemukakan, pembentukan undang-undang melalui metode Omnibus Law boleh dilakukan tanpa memasukkannya terlebih dahulu dalam ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


Keduanya menilai, metode pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan, mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum.


Baik Arief Hidayat maupun Anwar Usman sependapat materi muatan dalam UU Cipta Kerja ada yang perlu dikabulkan, terutama terkait hukum ketenagakerjaan. Hal itu, berkaitan erat dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional buruh. Yakni terkait dengan upah, pesangon, outsourcing, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).


Pendapat berbeda juga diajukan hakim konstitusi Manahan Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat bahwa sepanjang sejarah berdirinya MK belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945.


Menurut Manahan Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh, metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus dimungkinkan pengadopsiannya dalam sistem hukum nasional. Itu bisa dipraktikkan, jika dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum.


Manahan Sitompul dan Daniel mengatakan pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik sesuai ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU No. 12/2011.


Menurut keduanya, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum, seharusnya Mahkamah menyatakan UU adalah konstitusional karena UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan.


“Di sisi yang lain MK seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi, di antara undang-undang yang satu dengan lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya," kata keduanya.


Seperti sudah ditulis, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Jika dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, MK nyatakan otomatis inkonstitusional bersyarat secara permanen. Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, disebutkan, UU Ciptaker ini tidak memegang asas keterbukaan pada publik.


"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Anwar Usman.


Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi. Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.


Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja, juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik. Karena itu, MK menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun. Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen. ***