COP30, Greenwashing dan Tragedi Sumatera Sebuah Ilusi Janji Hijau
Ilustrasi pembalakan liar.
EmitenNews.com - COP30 di Belém, Brasil, digadang-gadang sebagai momentum krusial bagi negara berkembang. Indonesia masuk panggung utama, membawa ambisi besar transisi energi, konservasi hutan tropis, dan rencana monetisasi karbon hingga Rp16 triliun. Janji besar itu menempatkan Indonesia sebagai calon “champion” pasar karbon global.
Namun, selang beberapa hari setelah diplomasi iklim berlangsung megah di Amazon, banjir dan longsor mematikan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah merenggut 990 jiwa meninggal, dan 222 orang dinyatakan hilang (data BNPB 12 Desember2025), serta membuat ratusan ribu kepala keluarga (KK) kehilangan tempat tinggal.
Ironisnya, tragedi ini sering dikemas sebagai bencana alam atau akibat cuaca ekstrem. Padahal, akar masalahnya jelas yakni, hilangnya ekosistem penyangga akibat deforestasi dan ekspansi industri. Alam, pada akhirnya memungut pajak atas kesalahan manusia.
Bencana ini merupakan manifestasi telanjang dari rusaknya hulu sungai, hilangnya tutupan hutan, degradasi DAS, dan tata kelola lingkungan yang longgar, hingga paradoks tragis di tengah gencarnya kampanye “hijau” korporasi.
Konsekuensi sosial-ekonomi dari tragedi ini sangat nyata. Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, infrastruktur rusak, hingga kondisi lingkungan yang rapuh. Indonesia, dalam konteks COP30, tengah menjalani ujian moral: apakah narasi hijau akan dieksekusi dengan integritas, atau kembali tenggelam menjadi greenwashing berjubah ESG?
Greenwashing: Retorika Korporasi yang Menyesatkan
Di pasar modal, jargon keberlanjutan menjadi trend. Perusahaan publik berlomba menampilkan citra ramah lingkungan melalui laporan keberlanjutan, kampanye CSR, atau klaim “carbon neutral.” Namun, banyak di antaranya hanyalah praktik greenwashing atau upaya kosmetik untuk menutupi aktivitas bisnis yang tetap merusak lingkungan.
Motif utama greenwashing umumnya adalah kesempatan mendapatkan akses pendanaan murah. Investor global semakin menuntut komitmen ESG. Selain itu, citra hijau juga kerap digunakan sebagai strategi pasar dan legitimasi sosial: branding hijau digunakan untuk meredam kritik publik dan bahkan dijadikan diferensiasi kompetitif.
Namun sayangnya, narasi hijau di Indonesia masih jauh panggang dari api. Mulai dari laporan keberlanjutan yang terindikasi manipulatif, minimnya verifika karbon netral berbasis offset, hingga adanya kecenderungan perusahaan melakukan ‘selective disclosure’ yaitu kondisi perusahaan hanya mengumumkan data yang menguntungkan.
Dampaknya? investor tertipu, masyarakat kehilangan kepercayaan, lingkungan tetap rusak, dan regulator menghadapi tantangan besar dalam menegakkan transparansi. Greenwashing tidak lagi sekedar distorsi informasi, tetapi sudah menjadi sebuah manuver terstruktur yang mengaburkan akuntabilitas korporasi dan menciptakan persepsi semu tentang kinerja lingkungan.
Greenwashing: Kebohongan Publik dengan Risiko Sistemik
Banyak emiten kini menghias laporan tahunan dengan istilah impresif: carbon-neutral, zero-deforestation, restoration commitment. Tapi tanpa audit independen dan transparansi izin lahan, klaim tersebut hanya retorika yang membungkus praktik lama.
Greenwashing di Indonesia tidak lagi dapat diperlakukan sebagai isu komunikasi semata. Praktik ini mengganggu price discovery risiko ESG, dan berkontribusi terhadap pola kerusakan ekologis yang terlihat jelas pada berbagai kejadian lingkungan ekstrem di Sumatera baru-baru ini.
Ketika perusahaan tambang, sawit, pulp, hingga energi mengklaim seolah mereka bagian dari solusi, padahal kontribusinya terhadap degradasi hulu DAS jelas, pasar modal ikut terseret menjadi fasilitator penyebab bencana.
Implikasi Keuangan dan Regulasi: Pasar Modal Tak Lagi Boleh Apatis
Jika regulator dan bursa ingin mempertahankan kredibilitas, momentum COP30 harus dimanfaatkan untuk penataan ulang — bukan sekadar seremoni kebijakan.
Setidaknya ada empat urgensi struktural yang harus menjadi perhatian pemerintah melalui otoritas bursa ataupun regulator:
Related News
Bye Supercycle: Strategi Bertahan di Saham Batu Bara Saat Harga Normal
Business Judgement Rule Jadi Tameng: Benarkah Direksi BUMN Aman?
"Investor-Pengemis" 1 Lot Saham IPO
Fenomena Saham Gorengan Masih Terjadi, Lantas Bagaimana Menyikapinya?
Bisakah Menilai Perusahaan Teknologi dan Startup dengan Cara Biasa?
Mengapa 2026 Akan Jadi Tahun Kembalinya Foreign Inflow ke IHSG?





