EmitenNews.com - Otokritik Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa soal kebijakan moneter dan fiskal yang dinilai terlalu menahan suplai uang (money supply) menarik perhatian ekonom. Pernyataan itu dianggap jujur dan jarang muncul di ruang publik yang membuka ruang diskusi lebih luas: apakah kerangka hukum dan ortodoksi kebijakan keuangan Indonesia masih relevan menghadapi tantangan zaman baru.

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, masalah yang diangkat Menkeu bukan semata pilihan teknokrat, melainkan keterbatasan struktural.

“Bank Indonesia terikat pada target inflasi, sementara Kementerian Keuangan terikat pada disiplin defisit dan tata kelola kas. Dalam kondisi extraordinary seperti supply shock, koordinasi fiskal dan moneter seharusnya lebih fleksibel, namun tangan mereka terikat oleh mandat undang-undang,” ujar Fakhrul, dalam keterangannya ke InfoPublik, Minggu (21/9/2025).

Menurut Fakhrul, fondasi hukum yang mengatur sektor keuangan Indonesia lahir pasca krisis Asia 1997–1998, ketika trauma inflasi dan disiplin fiskal yang dipengaruhi program IMF menjadi roh utama. UU Bank Indonesia, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, hingga UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada awal 2000-an didesain untuk menjamin stabilitas dan disiplin defisit.

Kebijakan tersebut wajar pada masanya, ketika momentum pertumbuhan datang dari perdagangan internasional dan inflasi lebih sering didorong sisi permintaan. Namun kini dunia berubah: pandemi, perang Ukraina, krisis energi, perubahan iklim, hingga disrupsi teknologi memunculkan supply shock berulang.

“Kerangka Inflation Targeting Framework dibangun atas asumsi supply shock jarang terjadi. Padahal kini justru supply shock yang mendominasi. Kalau kerangka lama tetap dipakai, maka inflasi dijinakkan dengan menekan output lebih jauh. Akibatnya, ekonomi bisa terjebak dalam negative output gap berkepanjangan,” jelasnya.

Indonesia menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, supply shock menekan produksi dan menaikkan harga. Di sisi lain, Bank Indonesia sering menaikkan suku bunga lebih tinggi demi menjaga stabilitas rupiah, sementara disiplin fiskal menahan defisit di bawah 3 persen PDB.

“Kita mengalami double squeeze: sisi produksi tertekan, permintaan juga ditarik turun. Tanpa ruang fiskal yang countercyclical, luka supply shock di Indonesia berpotensi lebih dalam,” tegas Fakhrul.

Ironi pun muncul: stabilitas tercapai, tetapi momentum pertumbuhan melemah. Uang beredar rendah, kelas menengah tertekan, dan penyerapan anggaran lambat. “Institusi menjalankan mandatnya dengan baik, tetapi hasil akhirnya ekonomi kehilangan tenaga,” tambahnya.

Fakhrul mendorong revisi sejumlah regulasi untuk memperluas mandat kebijakan. Pertama, UU Bank Indonesia perlu membuka dual mandate: tidak hanya stabilitas rupiah, tetapi juga mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan lapangan kerja. Kedua, UU Keuangan Negara harus memberi ruang fleksibilitas fiskal untuk countercyclical policy saat krisis.

Selain itu, koordinasi antarotoritas dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus diperluas, tidak sekadar untuk manajemen krisis, tetapi juga sebagai forum koordinasi makro yang rutin.

“Zaman baru menuntut alat baru. Jika hukum lama lahir dari trauma, hukum baru harus lahir dari keberanian. Bangsa ini butuh lebih dari sekadar stabilitas—kita butuh pertumbuhan yang hidup, pekerjaan yang bermakna, dan rupiah yang benar-benar melayani rakyat,” pungkas Fakhrul.(*)