EmitenNews.com - Sungguh, dunia bisnis berada di titik kritis. Tekanan global untuk menerapkan praktik berkelanjutan semakin kuat, sementara tuntutan pasar atas pertumbuhan cepat dan laba jangka pendek tetap dominan. Dalam persimpangan ini lahir Environmental, Social, Governance (ESG) Rating, yaitu sistem penilaian yang mengukur ketahanan perusahaan terhadap risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola yang material bagi industrinya. Lebih dari sekadar kepatuhan, ESG Rating menilai sejauh mana strategi bisnis mampu mengelola risiko jangka panjang sekaligus membuka peluang dalam transisi menuju ekonomi berkelanjutan.

ESG menjanjikan perubahan paradigma dari sekadar mengejar profit menjadi menciptakan nilai yang bertanggung jawab.

Namun, muncul pertanyaan apakah ESG Rating benar-benar menjadi instrumen transformasi korporasi atau hanya sekadar ilusi demi membangun citra?

Pertanyaan itu menjadi relevan karena ESG kini bukan sekadar wacana. Studi Harvard Business School (2022) menunjukkan lebih dari 80% investor institusional global telah memasukkan kriteria ESG ke dalam proses seleksi investasi. Evaluasi perusahaan tak lagi hanya soal laporan keuangan, tetapi juga menyangkut emisi karbon, perlindungan hak pegawai dan integritas tata kelola.

 

Fatamorgana Greenwashing

Di Indonesia, kesadaran terhadap ESG mulai menunjukkan arah yang menggembirakan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan Taksonomi Hijau, Bursa Efek Indonesia mengembangkan bursa karbon dan sejumlah BUMN mulai melangkah lebih strategis.

Beberapa bank sukses meraih ESG rating AA dari MSCI (Morgan Stanley Capital International), lembaga pemeringkat global di bidang keberlanjutan, sebagai cerminan komitmen terhadap pembiayaan ramah lingkungan dan tata kelola yang berintegritas.

Namun, keberhasilan semacam ini masih lebih banyak menjadi pengecualian ketimbang norma. Terdapat 94% investor global (PwC, 2023) yang meyakini laporan keberlanjutan perusahaan mengandung klaim tanpa bukti (indikasi kuat greenwashing praktik ketika perusahaan memberikan pencitraan palsu).

Tak sedikit perusahaan menjadikan ESG bukan sebagai kompas strategis, melainkan sekadar alat pencitraan. Laporan disusun megah, sarat narasi inspiratif dan grafik meyakinkan, tetapi miskin substansi, mengaburkan batas antara komitmen dan kosmetik.

Masalah utamanya bukan hanya pada niat, tetapi pada ketidakseragaman standar ESG Rating itu sendiri. Lembaga pemeringkat menggunakan metodologi yang berbeda, sehingga perusahaan yang sama bisa memperoleh skor tinggi dari satu lembaga, namun rendah dari lembaga lain. Inkonsistensi ini menciptakan ruang untuk manipulasi persepsi ketika citra dapat dikendalikan lebih kuat daripada realitas operasional.

Kelemahan Sistemik

Sesuatu di balik maraknya adopsi ESG, terdapat persoalan struktural yang jarang dibahas secara terbuka.

Pertama, ESG Rating cenderung bias terhadap perusahaan besar. Mereka punya sumber daya dan tim khusus untuk menyusun laporan keberlanjutan yang kompleks dan “terlihat ideal”. Sementara perusahaan kecil dan menengah, meskipun memiliki dampak nyata yang positif, kerap tertinggal karena tidak mampu memenuhi tuntutan administratif yang rumit. Akibatnya, ESG berisiko menjadi arena eksklusif bagi korporasi elite padahal seharusya menjadi alat demokratisasi perubahan.

Kedua, ESG Rating masih sangat bergantung pada self-reporting. Tanpa audit independen, laporan ESG rawan menjadi instrumen legitimasi sepihak, bukan refleksi kondisi sebenarnya. Minimnya verifikasi eksternal membuka celah bagi klaim sepihak yang tidak diuji fakta empiris. Bahkan pada titik tertentu, merusak kredibilitas ESG Rating sebagai instrumen transformasi.

Ketiga, belum adanya standar metodologi global menambah kompleksitas. Satu perusahaan bisa terlihat “berkelanjutan” di mata suatu lembaga rating, namun dinilai lemah oleh lembaga lainnya. Inkonsistensi ini bukan hanya membingungkan investor dan publik, tetapi juga mengaburkan tujuan utama ESG yakni transparansi dan akuntabilitas.

Langkah Strategis