Laporan Keberlanjutan (ESG), Risiko yang Terabaikan Investor Ritel
Ilustrasi investor ritel melangkahkan investasi bisnis/keuangannya.
EmitenNews.com - Terselip di tengah euforia pasar modal Indonesia yang mencatat rekor Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di atas 8.200 poin per November 2025, sebuah paradoks mencolok terungkap yakni, laporan keberlanjutan (sustainability report) yang wajib dipublikasikan perusahaan tercatat sejak POJK Nomor 51/POJK.03/2017, justru menjadi dokumen paling terpinggirkan di mata investor ritel.
Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru menunjukkan hanya 12 persen investor saham individu yang membaca laporan ini sebelum mengambil keputusan beli, jauh di bawah 68 persen yang mengandalkan laporan keuangan konvensional.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan buruk, melainkan sinyal kegagalan secara sistematik dalam mengintegrasikan prinsip ESG (environmental, social, governance) ke dalam kultur investasi nasional. Opini ini menyoroti urgensi pentingnya laporan keberlanjutan sebagai kompas utama pengambilan keputusan, bukan sekadar formalitas regulasi.
Laporan keberlanjutan seharusnya menjadi jendela transparansi yang menampilkan risiko non-keuangan material perusahaan, mulai dari emisi karbon hingga praktik ketenagakerjaan. Bursa Efek Indonesia (BEI), 812 emiten wajib menyusunnya setiap tahun, dengan standar GRI (Global Reporting Initiative) sebagai acuan utama.
Namun, realitas lapangan menunjukkan dokumen setebal ratusan halaman ini sering kali berakhir di rak digital tanpa pernah dibuka. Penelitian Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) 2024 mengungkap 67 persen laporan keberlanjutan emiten IHSG masih bersifat boilerplate alias templating kalimat standar yang disalin dari tahun ke tahun, sehingga gagal memberikan nilai tambah. Akibatnya, isu material seperti deforestasi di sektor sawit atau polusi udara di industri semen kerap luput dari radar analisis, meski berpotensi memicu kerugian finansial jangka panjang dan penurunan valuasi.
Laporan Keberlanjutan PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) bisa menjadi satu percontohan. Laporan keberlanjutan 2024 perusahaan ini mengungkap penurunan Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO Bersertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sekitar 8 persen akibat terdapat pernyataan kembali dikarenakan perubahan metode perhitungan yang digunakan oleh perusahaan dari tahun-tahun sebelumnya.
Informasi seperti ini seharusnya menjadi sinyal bagi investor, mengingat pentingnya produk yang tersertifikasi karena boikot produk sawit non-berkelanjutan oleh Uni Eropa dapat memangkas pendapatan ekspor hingga 15 persen dan menekan harga saham.
Namun, harga saham AALI justru melonjak 22 persen sepanjang 2025, didorong euforia laba kuartalan, sementara hanya 9 persen investor ritel di platform sekuritas ternama yang mengaku membaca bagian risiko sosial dalam laporan tersebut. Pola serupa terlihat pada PT Semen Indonesia Tbk. (SMGR), di mana emisi CO? per ton semen masih di atas rata-rata global, namun isu risiko iklim ini tenggelam di balik narasi ekspansi pabrik.
“Mengapa laporan keberlanjutan gagal menarik perhatian investor ritel?”
Pertama, aksesibilitas. Sebagian besar dokumen hanya tersedia dalam format PDF panjang di situs BEI atau website perusahaan, tanpa ringkasan eksekutif yang ramah investor ritel. Kedua, literasi. Survei Bursa Efek Indonesia 2025 menunjukkan 74 persen investor berusia di bawah 35 tahun mengaku tidak paham metrik ESG, apalagi cara mengkuantifikasinya ke dalam valuasi saham.
Adapun, ketiga, insentif. Manajer investasi reksa dana masih mengukur kinerja dengan benchmark IHSG konvensional, bukan indeks SRI-KEHATI yang berbasis keberlanjutan. Akibatnya, laporan yang seharusnya menjadi alat mitigasi risiko justru menjadi beban administratif bagi emiten.
Padahal, bukti empiris global menunjukkan integrasi ESG meningkatkan return jangka panjang. Studi Morningstar 2024 menemukan portofolio berbasis laporan keberlanjutan berkualitas tinggi mengungguli indeks pasar sebesar 2,1 persen per tahun dalam dekade terakhir.
Sementara Indonesia, emiten dengan skor ESG di atas 70 (skala Sustainalytics) seperti PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) mencatat volatilitas saham 18 persen lebih rendah dibandingkan rata-rata IHSG selama periode ketidakpastian ekonomi 2023–2025. Data ini seharusnya menjadi panggilan bagi regulator dan pelaku pasar untuk bertindak.
Reformasi harus dimulai dari tiga level. Pertama, BEI dan OJK wajib mewajibkan ringkasan eksekutif laporan keberlanjutan maksimal 10 halaman, dengan visualisasi data dan metrik kunci yang terintegrasi ke dalam aplikasi investasi ritel.
Kedua, sekuritas dan manajer investasi harus menyertakan analisis risiko ESG dalam rekomendasi saham, dengan sanksi bagi yang mengabaikan risiko material non-keuangan. Ketiga, pendidikan investor. Program literasi ESG harus masuk kurikulum sekolah bisnis dan sertifikasi analis efek, dengan target 50 persen investor ritel memahami laporan keberlanjutan pada 2030.
Pada akhirnya, laporan keberlanjutan bukanlah dokumen kosmetik, melainkan peta risiko masa depan. Ketika investor terus mengabaikannya, mereka secara tidak sadar bertaruh pada perusahaan yang rapuh terhadap guncangan iklim, regulasi internasional, atau boikot konsumen.
Kala Indonesia menargetkan net zero emission 2060, pasar modal yang masih buta ESG akan menjadi penghambat utama. Saatnya mengubah paradigma dari "laporan tahunan yang wajib" menjadi "kompas investasi yang esensial". Hanya dengan demikian, pertumbuhan IHSG dapat berkelanjutan, bukan sekadar euforia sesaat.
Related News
Badai Koreksi di Tengah Optimisme G20, Apakah Asing Tetap Setia?
Dividen Perusahaan Tambang Ambil Rasio 100% Laba Bersih, kok, Bisa?
Sinyal Window Dressing, Waktunya Memburu Saham Bagus di November?
Mimpi Besar Pasar Modal Indonesia, Meneropong Optimisme IHSG 32.000
Saham Viral vs Saham Bernilai: Hype yang Menggeser Dominansi Analisis
Wacana Free Float MSCI Mengguncang Pasar, Saham Konglo Tersingkir?





