EmitenNews.com - Bursa Efek Indonesia (BEI) menghadapi kritik atas sejumlah kebijakan yang dinilai kurang transparan dan melemahkan kredibilitas bursa, khususnya di mata investor asing. 

Salah satu kebijakan yang paling disorot adalah mekanisme Full Call Auction (FCA) terhadap saham-saham yang masuk daftar Unusual Market Activity (UMA).

FCA berlaku selama tujuh hari, namun berdampak jangka panjang karena saham-saham tersebut tidak dipertimbangkan oleh penyedia indeks global seperti MSCI. 

Belum lama ini Prof. Budi Frensidy dari UI menyebut BEI seharusnya mengevaluasi ulang kebijakan ini, bukan berharap MSCI mengubah parameternya. 

Senada, pengamat pasar modal Strategi Institute, Fauzan Luthsa menilai persoalannya bukan sekadar teknis. “Kalau efek FCA tujuh hari bisa menghambat akses indeks cukup lama, itu soal struktur kebijakan. BEI harus menyesuaikan diri dengan standar global,” ujarnya, Kamis (22/5).

Sementara itu, BEI tengah mengkaji ulang aturan free float dan batas minimum keuangan dalam proses IPO. Namun Fauzan menyebut langkah ini belum menyentuh akar masalah. “Revisi regulasi akan jadi tambal sulam jika indeks masih dipertanyakan dan suspensi saham tidak diperbaiki,” katanya.

Di sisi lain, BEI juga dikritik atas penentuan komposisi indeks seperti LQ45 dan IDX High Dividend 20 yang dinilai kurang transparan. 

Seperti saham PT Mitra Pack Tbk (PTMP) yang pernah masuk LQ45 meski tidak memenuhi standar likuiditas dan TPIA serta BRPT masuk indeks dividen meski tidak membagikan dividen dalam beberapa tahun terakhir. “Kebijakan seperti ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai objektivitas BEI,” kata Fauzan.

Sorotan lain muncul dari langkah BEI membentuk unit kerja khusus untuk mendampingi perusahaan besar menuju IPO. Fauzan menilai pendekatan ini justru memperlebar ketimpangan. “Banyak perusahaan kecil dan menengah butuh pendampingan. BEI justru memprioritaskan yang paling besar dan paling siap,” ujarnya.

Di saat banyak perusahaan dalam pipeline belum tersentuh, BEI justru tengah mengutak-atik regulasi free float dan batas keuangan minimum, yang dikhawatirkan justru akan mempersempit akses perusahaan lain untuk masuk ke bursa.

Dengan target 66 IPO di 2025, namun baru 14 perusahaan tercatat hingga pertengahan Mei, BEI dinilai belum menunjukkan langkah mengejar inklusi pasar. “Kalau fokusnya hanya lima emiten besar, lalu bagaimana nasib 50 lainnya?” kata Fauzan.

“Dengan sisa waktu tinggal tujuh bulan dan 14 IPO yang sudah tercatat, apakah realistis mengejar 52 IPO tambahan? Saya berharap semoga BEI dapat menghindari kegagalan capai target penambahan emiten seperti tahun lalu,” pungkasnya. ***