EmitenNews.com—Fitch Ratings Indonesia telah menetapkan penerbitan obligasi PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) dengan rating BBB-/AA+(idn)/Stabil hingga IDR2,5 triliun Peringkat Nasional Jangka Panjang 'AA+(idn)'. Obligasi tersebut akan menjadi penerbitan tahap keenam dari program obligasi Rp15 triliun perusahaan dan seluruh hasil bersih akan digunakan untuk membiayai kembali utang anak perusahaannya.

 

Penerbitan ini diperingkat pada tingkat yang sama dengan Peringkat Nasional Jangka Panjang TBI karena surat utang tersebut mewakili kewajiban senior tanpa jaminan.

 

Peringkat Nasional 'AA' menunjukkan ekspektasi akan tingkat risiko gagal bayar yang sangat rendah relatif terhadap emiten atau surat utang lainnya di negara atau kesatuan moneter yang sama. Risiko default yang melekat hanya sedikit berbeda dari emiten atau obligasi dengan peringkat tertinggi di negara tersebut.

 

Headroom Peringkat yang Ditingkatkan: Kami memperkirakan TBI akan mempertahankan leverage bersih EBITDA di bawah 5,0x. Perusahaan berkomitmen untuk peringkat internasional tingkat investasi dan bertujuan untuk menjaga utang bersih/EBITDA triwulanan terakhir di bawah 5,0x dalam jangka pendek hingga menengah. Leverage bersih EBITDA meningkat menjadi 4,5x pada 3Q22 (2021: 5,1x) menyusul pelunasan fasilitas sindikasi dolar AS TBI, yang didanai dari penjualan saham treasury sebesar USD225 juta kepada pemegang saham langsung, Bersama Digital Infrastructure Asia Pte Ltd.

 

Perpanjangan Kontrak yang Dapat Dikelola: Kami yakin TBI memiliki risiko perpanjangan kontrak yang terbatas, mengingat sekitar 18% kontrak pada 1Q22 akan diperbarui pada 2023-2024. Kami yakin permintaan sewa dari pemimpin pasar telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom, BBB/Stabil) dan PT XL Axiata Tbk (BBB/AAA(idn)/Stabil), harus mengimbangi tidak diperpanjangnya sewa oleh PT Indosat Tbk ( BBB-/AA(idn)/Stabil) hingga 2024. Kontribusi pendapatan dari tiga perusahaan telekomunikasi teratas, termasuk Indosat-Hutch yang baru saja dimerger, tetap tinggi sebesar 85% di 9M22.

 

Konsolidasi Industri Menara: Industri menara Indonesia telah terkonsolidasi menjadi oligopoli, dengan tiga perusahaan menara besar. Kami memperkirakan bahwa TBI dan pemimpin pasar menara independen, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo, BBB/AAA(idn)/Stabil), menguasai separuh menara di Indonesia. Sementara itu, PT Dayamitra Telekomunikasi, anak usaha Telkom, menguasai hampir 33% menyusul akuisisi 6.000 menara pada Agustus lalu dari PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel).

 

Kami tidak berpikir bahwa TBI akan melakukan akuisisi besar lainnya yang didanai utang seperti akuisisi 3.000 menara dari PT Inti Bangun Sejahtera Tbk pada tahun 2021. Industri lainnya terpecah-pecah dan ada peluang terbatas untuk mengakuisisi portofolio menara lain yang cukup besar. Edgepoint DigitalBridge Group Inc adalah operator menara terbesar keempat, dengan 9.000 menara, dan industri ini memiliki beberapa perusahaan menara yang lebih kecil dengan 1.000 hingga 3.000 menara, seperti PT Bali Towerindo Sentra Tbk (A-(idn)/Stabil).

 

Visibilitas Arus Kas yang Kuat: Peringkat TBI diuntungkan dari perjanjian sewa jangka panjang yang memberikan visibilitas dan stabilitas arus kas. Total pendapatan yang dikunci sekitar Rp31 triliun pada akhir September 2022, dan rata-rata sisa masa kontrak adalah 5,4 tahun. Kami menilai risiko non-pembaharuan rendah, kecuali untuk menara yang terpengaruh oleh integrasi jaringan Indosat, karena menara merupakan infrastruktur penting bagi perusahaan telekomunikasi, yang menghindari pemindahan peralatan untuk meminimalkan gangguan layanan.

 

Pertumbuhan Pendapatan Lebih Lambat: Kami memperkirakan pertumbuhan pendapatan akan melambat hingga pertengahan satu digit pada 2022-2024 (2021: 16%, 9M22: 7,9%), karena Indosat-Hutch mengkonsolidasikan portofolio menara mereka dengan menghilangkan menara yang berlebihan setelah merger mereka. Namun, permintaan menara dan sewa dari XL dan Telkom akan tetap tinggi, karena kami perkirakan perusahaan-perusahaan ini akan berinvestasi sekitar 25%-30% dari pendapatan sebagai belanja modal.