EmitenNews.com - Kondisi perberasan nasional cenderung mengalami fluktuasi menjelang akhir tahun. Hal ini salah satunya disebabkan mulai melandainya produksi dalam negeri. Strategi dalam menjaga kestabilan harga dipastikan akan diintensifkan seiring memastikan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) hingga akhir tahun tetap solid.

Dua strategi kunci itu dipaparkan oleh Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi. Menurutnya, pemerintah dalam komando Presiden Prabowo Subianto mengutamakan kestabilan mulai dari hulu sampai hilir. Kesejahteraan produsen pangan dalam negeri sampai kewajaran harga pangan di masyarakat terus menjadi perhatian.

"Pemerintah mempersiapkan besok ini untuk November-Desember sampai Januari-Februari, dimana biasanya produksi itu di bawah kebutuhan konsumsi. Kalau produksi di bawah, maka kita harus memiliki stok cadangan untuk melakukan intervensi," tukas Arief dalam suatu dialog di Jakarta pada Senin (6/10/2025).

"Pemerintah terus melakukan intervensi, selain SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) beras, ada juga bantuan pangan beras. Nah sekarang kami sedang siapkan untuk Oktober dan November ini, kita berikan lagi 365 ribu ton beras dan tambahan minyak goreng 73,1 ribu kiloliter. Badan Pangan Nasional dan Bulog serta Kementerian Keuangan sedang mempersiapkannya," kata Arief lagi.

Terkait itu, NFA telah mengajukan permohonan Anggaran Belanja Tambahan (ABT) kepada Kementrian Keuangan pada 1 Oktober lalu. Kebutuhan ABT yang diajukan sejumlah Rp 6,5 triliun untuk pelaksanaan bantuan pangan beras dan minyak goreng Oktober dan November dengan skema satu kali salur.

Harga satuan beras mengacu pada Rapat Koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (22/9/2025) yakni Rp 13.500 per kilogram (kg). Untuk harga satuan minyak goreng mengacu pada Harga Eceran Tertinggi (HET) MinyaKita di Rp 15.700 per liter. Adapun target Penerima Bantuan Pangan (PBP) masih tetap sejumlah 18.277.083 PBP.

Sementara, proyeksi produksi beras nasional menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Januari sampai November diperkirakan mencapai 33,19 juta ton atau meningkat 3,72 juta ton dibandingkan periode yang sama di 2024. Kendati begitu, angka produksi beras bulanan menunjukkan tren melandai mulai Oktober sampai Desember.

"Kalau produksi itu di bawah konsumsi setara beras, artinya ada shortage (kekurangan) di lapangan, sehingga harga gabah akan lebih tinggi. Begitu harga gabah tinggi akan berimbas juga pada harga beras di masyarakat. Nah di situ pemerintah masuk, sehingga seperti Bank Indonesia yang melakukan intervensi saat currency mengalami kenaikan di atas," ujar Arief.

"Dan intervensi itu harus spesifik. Misalnya Bapak Mendagri itu langsung menyampaikan 'Mas Arief di daerah ini ini, ada 200 kabupaten kota yang angkanya tinggi, tolong di intervensi'. Nah di situ sudah ada daerahnya di mana saja. Stok beras kita di Bulog kan banyak untuk intervensi itu. Badan Pangan itu mengalokasikan 1,5 juta ton untuk intervensi, sehingga akhir tahun ini kita masih akan punya 3 juta ton," ungkap Arief.

Per 3 Oktober, dalam data yang dihimpun NFA, total stok beras yang dikelola Bulog masih ada 3,89 juta ton. Total penyaluran CBP ke masyarakat melalui berbagai program telah mencapai 886,4 ribu ton. Sementara realisasi pengadaan setara beras dari produksi dalam negeri telah Bulog laksanakan hingga mencapai 3,002 juta ton.

Meskipun Bulog telah melampaui target serap 3 juta ton sebagaimana Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2025, pemerintah melalui NFA telah menugaskan kembali Bulog untuk menyerap hasil panen gadu. Penyerapan harus tetap dilaksanakan, terutama di daerah yang mengalami harga gabah kering panen di tingkat petani kurang dari Rp 6.500 per kg.

"Jadi arahan Bapak Presiden Prabowo tentunya menyampaikan bahwa yang harus dijaga itu dua-duanya, baik di petani dan peternak maupun di konsumen. Tentunya di tengah ada pedagang. Ini karena kalau hanya di konsumen saja, nanti petani peternaknya itu tidak bisa mendapatkan keuntungan yang wajar. Tapi kalau hanya di petani atau peternaknya saja, maka nanti masyarakat mendapatkan pangan harganya tinggi," urai Arief.

"Makanya kita ukur semua. Yang pertama adalah kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan. Yang berikutnya lagi adalah bagaimana menjaga daya beli masyarakat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Jadi semuanya satu paket. Tidak bisa kita potong-potong. Semua berkesinambungan dan harus dijaga kestabilannya," pungkas Kepala NFA Arief Prasetyo Adi.(*)