EmitenNews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan adanya indikasi kebocoran dana retribusi wisata di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Temuan Tim Gabungan Satgas Pencegahan dan Penindakan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pendampingan lapangan di Raja Ampat, menunjukkan adanya indikasi kebocoran di sektor pelayanan publik. 

Akibatnya, ada potensi penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang semestinya bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Rabu (17/7/2024), Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, mengungkapkan temuan penting itu. Ia menyebutkan, ada perbedaan data pembayaran retribusi wisatawan yang signifikan antara data Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Kepulauan Raja Ampat, yang dikelola Provinsi Papua Barat Daya. KPK menemukan data wisatawan yang tercatat di kabupaten justru lebih tinggi.

“Petugas provinsi itu lebih banyak dari petugas kabupaten. Ada 50 petugas provinsi yang tersebar di 8 pos wilayah kepulauan Raja Ampat. Sedangkan, petugas kabupaten hanya dua orang untuk melayani pembayaran tiket di Pelabuhan Falah, yang tidak jauh dari lokasi kedatangan kapal. Tapi, justru kabupaten bisa mendapat data lebih tinggi. Ada kebocoran di sini,” ungkap Dian Patria.

Jika masalah ini dibiarkan, dipastikan akan menimbulkan kebocoran PAD yang lebih besar dan merugikan keuangan daerah. 

Data UPTD Kabupaten Raja Ampat, periode Januari-April 2024, menunjukkan terdapat 24.227 wisatawan asing dan domestik yang berkunjung ke wilayah tersebut. Namun, di periode yang sama, data BLUD KKP Provinsi Papua Barat Daya mencatat angka yang jauh lebih kecil, hanya 13.524 wisatawan. Hal ini menunjukkan adanya deviasi kunjungan wisatawan hingga 7.307 orang.

Coba perhatikan, jika dihitung berdasarkan tarif retribusi sebesar Rp1.000.000 per orang, dengan pembagian Rp300.000 dibayarkan di UPTD Dinpar Raja Ampat dan Rp700.000 dibayarkan di BLUD KKP Kepulauan Raja Ampat, potensi pendapatan yang hilang akibat kebocoran ini mencapai Rp5,12 miliar dalam rentang waktu empat bulan saja di 2024. 

Angka itu sangat signifikan dan menjadi bukti nyata bahwa masih terdapat celah dalam sistem pengelolaan retribusi di sektor pelayanan publik di Raja Ampat.

Berdasarkan temuan itu, tim Korsup Wilayah V KPK pun mendorong perbaikan tata kelola pariwisata di Raja Ampat untuk meningkatkan PAD dan kesejahteraan masyarakat sekitar. 

Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan pasal 6 huruf b dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Kemarin kami bertemu turis yang liburan mandiri ke sini, mereka tidak tahu kalau harus membayar dua kali. Di bagian ticketing juga tidak ada tempelan pemberitahuan harus bayar berapa dan berlaku berapa lama. Sehingga transparansi ini harus terus kita dorong, agar para wisatawan mau kembali ke Raja Ampat,” tegas Dian Patria.

KPK mengharapkan, dengan temuan itu, perbaikan tata kelola dapat segera dilakukan untuk menghindari kebocoran lebih lanjut. Ini penting untuk memastikan bahwa PAD digunakan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Raja Ampat, Papua Barat Daya. ***