EmitenNews.com - Hasan Zein Mahmud akan menyerok saham Goto Group (GOTO). Itu dilakukan 100 lot per pekan. Dengan catatan, saham Goto Group menyusuri lembah gocap alias Rp50 per lembar atau lebih rendah.  

”Karena itu, saya akan menyisihkan jatah angkringan saya untuk membeli 100 lot GOTO setiap minggu bila harganya masih di gocap atau lebih rendah. Nabung saham!. hhh. Uji akurasi penerawangan hingga akhir 2024. Cuan? Urusan kesekian. hhhh,” seru mantan bos Bursa Efek Indonesia (BEI) tersebut. 

Tidak disangkal saham GOTO makin tertekan. Kolom kanan makin tebal. Volume transaksi makin tipis. Kalau trend berlanjut, terbuka peluang saham "kebanggaan banyak orang" itu, dikerangkeng BEI ke penjara Papan Pemantauan Khusus (PPK). 

Penurunan harga itu, dalam pandangan Hasan Zein, semata faktor teknis. Alibaba (Taobao) telah menjual sebagian porsinya lebih dari 16 miliar saham. GT Subco juga menjual hampir 100 juta saham. Sebagian founders - terutama dari Tokopedia (Toped) - telah pergi dan menjual pemilikan. 

Efeknya, cadangan ESOP dalam genggaman Goto People verse Fund (GPF) masih ada sekitar 64 miliar lembar,  terus mengguyur pasar dengan harga Rp2. Tanpa kehadiran pembeli besar, butuh waktu lama agar perimbangan permintaan, dan penawaran kembali ke titik ekuilibrium.

GOTO adalah deretan nama besar. Dalam daftar pemegang saham ada Subco, dan Taobao. Nama besar lain seperti INA, ADIA, Astra, Telkomsel boleh jadi tergabung dalam masyarakat non warkat. Pada jajaran komisaris ada Agus Marto, dan John Prasetyo. Komando pengelola dipegang "visioner bisnis cemerlang" Sugito Waluyo. Pertaruhan reputasi?  

Bagi Hasan Zein sebagai investor, pertanyaan paling relevan tetap, "Apakah GOTO sebagai perusahaan akan mampu eksis, atau akan hilang dari peredaran?" jawabannya puluhan kali saya ulang dalam celoteh: hanya perusahaan yang mampu menghasilkan laba secara wajar dari operasi wajar yang mampu bertahan,” tegasnya.

Nah, dari kacamata itu, Hasan Zein melihat secara fundamental GOTO saat ini jauh lebih kuat. Segmen e-commerce yang boros dan boncos sudah bisa ditransformasi menjadi penyumbang laba bersih. Dibayar dengan harga kehilangan pengendalian.

Segmen Service on Demand (SOD), lanjut Hasan Zein menghadapi persaingan tidak setajam e-commerce. Di samping peluang ekspansi masih sangat lebar. GOTO memang tidak memiliki dukungan pendanaan sehebat Grab yang ditopang Sea Grup. Kalah jauh dalam nilai kapitalisasi dibanding Grab yang tercatat di NASDAQ.

”Tapi saya tidak melihat alasan GOTO tidak mampu bersaing dalam memperebutkan pasar di kandang sendiri. Indonesia - begitu luasnya - merupakan lahan paling menarik untuk bisnis SOD di ASEAN,” ucap Hasan Zein. (*)