Manufaktur Bisa Tumbuh Lebih Tinggi Jika Ada Kebijakan Pro Industri

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief.(Foto: Kemenperin)
EmitenNews.com - Kemenperin berkomitmen untuk terus menjaga momentum pertumbuhan industri pengolahan sebagai fondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.
“Dengan kebijakan yang kurang mendukung manufaktur saja sudah mencapai pertumbuhan 5,60 persen. Apalagi jika kebijakan yang pro industri diberlakukan, tentu pertumbuhan manufaktur melesat jauh lebih tinggi lagi," papar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, di Jakarta, Rabu (6/8).
Kebijakan pro industri dimaksud adalah kebijakan yang berpihak dan melindungi industri dalam negeri yang sangat penting guna membangkitkan kinerja manufaktur nasional secara berkelanjutan.
Kebijakan tersebut antara lain pengendalian impor produk jadi, pengalihan pelabuhan masuk bagi produk jadi impor ke pelabuhan di Indonesia Timur, kemudahan pasokan bahan baku terutama bahan baku gas untuk industri tertentu, dan pengurangan kuota produk industri Kawasan Berikat masuk ke pasar domestik.
Menanggapi kritik ekonom mengenai pertumbuhan industri pada triwulan II tahun 2025 yang dirilis oleh BPS tidak sejalan dengan hasil PMI manufaktur Indonesia yang dilansir S&P Global, Febri menegaskan kinerja gemilang sektor industri pada triwulan II-2025 sudah sesuai dengan sejumlah data dan indikator yang valid seperti laporan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan Prompt Manufacturing Index-Bank Indonesia (PMI BI) serta capaian investasi dan ekspor sektor industri.
“Bahwa angka pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri manufaktur yang dirilis oleh BPS sudah akurat. Hal ini tervalidasi melalui hasil IKI Kemenperin dan PMI BI (Bank Indonesia) yang menyatakan bahwa industri manufaktur selama kuarta II 2025 selalu di atas level 50 atau berada dalam fase ekspansif. Beberapa indikator lainnya, pada belanja modal investasi sektor manufaktur juga naik,” katanya.
Jubir Kemenperin menambahkan, Kemenperin tidak pernah menggunakan hasil PMI manufaktur sebagai dasar analisis atau perumusan kebijakan.
“Kami menghargai hasil survei PMI sebagai referensi umum, namun dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan PMI BI," kata Febri.
Dijelaskan bahwa jumlah perusahaan industri yang jadi sampel rata-rata dalam IKI 3.100 perusahaan tiap bulannya sementara survey PMI S&P Global tidak lebih dari 500 perusahaan industri per survey.
Jadi, kinerja manufaktur lebih akurat dengan IKI dan PMI BI dibandingkan dengan indikator kinerja manufaktur lainnya. Selain itu, dengan IKI bisa diketahui kinerja masing-masing subsektor Industri Pengolahan Non Migas. "IKI diolah oleh pakar statistik IPB dan divalidasi oleh ekonom UI,”ungkapnya.
IKI dihimpun berdasarkan survei langsung kepada pelaku industri dari 23 subsektor manufaktur, mencakup aspek produksi, permintaan ekspor dan domestik, utilisasi kapasitas, tenaga kerja, hingga ekspektasi bisnis ke depan. IKI dinilai lebih representatif untuk kepentingan kebijakan karena didasarkan pada data primer dan dianalisis dalam konteks kebutuhan nasional, tidak semata-mata mengikuti indikator global seperti PMI.
“IKI jauh lebih akurat dan komprehensif karena melibatkan responden lebih banyak, dan kami melengkapi dengan data IKI ekspor dan domestik, serta analisis yang mendalam terhadap tren dan tantangan aktual di lapangan,” terang Febri. Indikator IKI juga mencerminkan kondisi industri yang lebih representatif secara nasional karena melibatkan jumlah responden yang lebih besar dan pendekatan sektoral yang rinci.(*)
Related News

Pemerintah Yakin Target Investasi Tahun ini Rp1.900T Bisa Dicapai

Cadangan Devisa Akhir Juli USD152 Miliar, Turun USD600 Juta

BTN Digital Store Resmi Hadir di DPR

Menkeu Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Terjaga di Semester II

Presiden Sebut Kedaulatan Pangan Pilar Utama Ketahanan Nasional

IHSG Menguat 0,49 Persen di Sesi I, 3 Sektor Tumbang