Mengapa Ekonomi China Kuat?

Xi Jinping mencetak sejarah sebagai Kepala Negara terlama di China. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Presiden China, Xi Jinping, belakangan menjadi perbincangan di dunia pasar modal pasca keputusannya untuk melawan kebijakan tarif resiprokal yang diajukan Donald Trump. Xi Jinping sendiri telah menjabat sebagai Presiden China sejak 2013 dan mencetak sejarah sebagai Kepala Negara terlama di China. Namun sebenarnya ekonomi China sendiri sudah menunjukkan adanya kemajuan signifikan dengan pertumbuhan rata-rata 9-10% per tahun sejak 1978 saat China dipimpin oleh Deng Xiaoping. Bahkan pada 2010, China berhasil mengambil alih posisi Jepang sebagai negara dengan perekonomian kedua terbesar di dunia yang berhasil dipertahankan hingga saat ini.
Kemajuan ekonomi China bahkan diprediksi akan mengalahkan AS pada 2030 nanti.
Apa saja kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Deng Xiaoping di masa pemerintahannya? Di aspek ekonomi, Deng Xiaoping mengundang ratusan investor luar negeri untuk berinvestasi di China. Di aspek pendidikan, China mengirim ratusan ribu anak mudanya untuk belajar di negara lain, khususnya Amerika. Di aspek politik, China menerapkan pemikiran pragmatisme yaitu menghindari konflik dan fokus memperbaiki hubungan dengan negara lain. Pertumbuhan ekonomi China sendiri berkembang didukung oleh dua faktor utama yang berjalan beriringan yaitu investasi modal berskala besar dan pertumbuhan produktivitas yang pesat. Sejak 2016, data Bank Dunia mencatat nilai manufaktur China berdasarkan nilai tambah bruto 49,2% lebih tinggi daripada AS, sekaligus menempatkan China menjadi produsen paling kompetitif di dunia dan mengalahkan AS.
Sebagai gambaran, kita akan bandingkan keadaan ekonomi China saat ini dengan 75 tahun lalu. Di tahun 1952, PDB China hanya USD 30 miliar. Namun sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping, di tahun 1978 PDB China meningkat sebesar USD 149,5 miliar atau setara 1,7% dari seluruh ekonomi dunia. Hingga pada 2023, PDB China mencapai USD 17,8 triliun atau 16,9% dari total PDB dunia dan menempatkan China menjadi negara dengan perekonomian terkuat kedua di dunia.
Begitu juga dengan penjualan ekspor China yang mengalami peningkatan drastis dari tahun 1950 yang tercatat hanya sebesar USD 1,1 miliar atau 0,9% dari total dunia, menjadi USD 5,9 triliun atau 12,4% dari pangsa pasar global pada tahun 2023. Perdagangan jasa dari China juga mengalami ekspansi yang tak kalah hebatnya, dimana perdagangan jasa di tahun 1950 hampir nol hingga di tahun 2023 mencapai USD 933,1 miliar dan menduduki peringkat keempat di dunia. Dalam bidang penemuan tentu kemajuan China sudah tidak diragukan lagi, dari total jumlah pengajuan paten di China tercatat hanya 8.558 penemuan, kemudian melonjak menjadi 526.000 di tahun 2011, dan mencapai 1,619 juta pada akhir tahun 2022.
Namun China sempat mengalami gejolak ketika terjadi perang dagang dengan AS yang dimulai pada Juli 2018 ketika jilid pertama Trump menjabat sebagai Presiden AS. Pada saat itu, AS memberlakukan bea masuk 25% terhadap USD 34 miliar impor dari China termasuk hard disk, mobil, dan suku cadang pesawat terbang. Sebagai balasan, China memberlakukan tarif 25% terhadap barang-barang AS senilai USD 34 miliar termasuk mobil, pertanian, dan produk hasil laut. Pada saat itu, AS dapat dikatakan memenangkan perang tersebut dengan mendapat tarif sebesar USD 550 miliar dari barang China, sedangkan China hanya mendapat USD 185 miliar untuk barang dari AS. Sekitar 2-3 bulan pasca perang dagang dimulai, indeks dollar dan saham AS tampak mulai mengalami kenaikkan.
Lalu bagaimana dengan perang dagang yang kembali terjadi pada masa pemerintahan Trump jilid 2 ini? China saat ini sudah banyak melakukan perbaikan dan mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan sangat baik. Pekerjaan rumah yang dimaksud baik dari dalam negeri China sendiri maupun kerjasama dengan negara lain. Dari dalam negeri, China sudah berhasil memperbaiki kualitas SDM nya yang memiliki disiplin dan etos kerja tinggi, juga skill tenaga kerja yang membanggakan. Hal ini juga didukung oleh meningkatnya kualitas universitas-universitas dalam negeri China yang banyak dibanjiri murid mancanegara, dan sudah menyadari pentingnya berinvestasi di riset dan pengembangan ilmu. China juga sangat mendukung industri dalam negerinya sendiri dengan memaksimalkan efisiensi, membebaskan berbagai pungutan, dan melonggarkan kebijakan mata uangnya untuk memberi insentif bagi para pelaku usaha agar dapat melakukan perdagangan ekspor.
Tercatat saat ini China merupakan eksportir terbesar di dunia dengan total perdagangan mencapai USD 5,9 triliun. Kemajuan industri dalam negeri China juga terlihat di industri perfilmannya yang mulai bangkit dan siap mengalahkan Hollywood. Film bioskop animasinya berjudul Ne Zha 2 yang sedang tayang saat ini sukses meraup pendapatan sebesar USD 2.085 miliar (sekitar IDR 34,1 triliun) dan menduduki peringkat sebagai film terlaris kelima sepanjang masa dan film animasi dengan penjualan tiket terbanyak.
Sambil memperbaiki industri dalam negeri, China juga selalu berusaha mengajak kerjasama negara-negara lain dengan prinsip “shared future” yang menunjukkan bahwa China mendorong pembangunan di seluruh dunia. Salah satu proyeknya yang terkenal adalah Belt and Road Initiative, dimana China membangun banyak pelabuhan di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin untuk membangun konektivitas ekonomi antar negara serta menguasai jalur-jalur perdagangan yang signifikan dalam rangka memperkuat infrastruktur perdagangan internasional. Hal ini memungkinkan China memiliki manufaktur yang kuat hingga dikenal sebagai “pabrik dunia” karena upahnya yang rendah, ekosistem bisnis yang kuat, pajak dan bea rendah, juga peraturan komersial yang relatif longgar.
Selain itu, China juga telah menjadi pemimpin dalam bidang penemuan dan banyak mengembangkan teknologi-teknologi baru serta menciptakan AI dengan biaya jauh lebih rendah dari teknologi AS sehingga memungkinkan negara-negara lain untuk membeli dari China dengan biaya lebih rendah. China juga mengembangkan future teknologi, robotik, solar panel, drone, energi terbarukan, kendaraan listrik, kereta cepat, dan menguasai rantai pasokan dari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk industri. Di samping itu, China juga melakukan relokasi industri besar-besaran dimana banyak pabriknya sudah dipindahkan dari AS ke negara-negara lain untuk mengurangi ketergantungan China terhadap AS.
Related News

Bursa Saham AS Ambruk, Sektor Ini Malah Naik

Prospek IHSG Kedepannya Berpotensi Cerah, Ini Alasannya

Sawit dan Batu Bara Jadi Pedang Bermata Dua Menuju Masa Depan Bersih

Strategi Indonesia Hadapi Kebijakan Trump: Diplomasi atau Konfrontasi?

Perang Dagang AS-China Guncang Rupiah & Pasar Saham, Kita Harus Apa?

Sikap Prabowo ke Saham: Ketegasan Politik atau Ketidaktahuan Ekonomi?