Optimisme Mengalir di Bursa, IHSG Siap Tulis Sejarah Baru?

Ilustrasi IHSG. Photo/Istimewa
EmitenNews.com - Pasar saham Indonesia kembali mencatatkan kinerja impresif pada paruh kedua tahun 2025. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing membukukan beli bersih (net buy) senilai Rp 850 miliar pada perdagangan Senin, 11 Agustus 2025. Angka ini cukup signifikan, terutama jika dibandingkan dengan tren sejak awal tahun, di mana investor nonresiden masih mencatatkan jual bersih (net sell) sebesar Rp 61 triliun.
Sejak awal tahun 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah menguat 9,4% mengindikasikan tren bullish yang kuat. Hari Rabu 13 Agustus 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di tutup menguat 1,30% di level 7.892,91. Banyak analis menilai, dengan dukungan sentimen positif dari dalam dan luar negeri, IHSG sangat berpeluang untuk memecahkan rekor dalam waktu dekat.
Optimisme terhadap IHSG bukan tanpa alasan. Beberapa katalis utama dari dalam negeri yang disinyalir dapat menjadi penopang kuat penguatan pasar modal diantaranya adalah stabilitas inflasi. Seperti diketahui inflasi tahunan Indonesia berada di level 2,37% pada Juli 2025, dimana angka ini tetap berada dalam target bank sentral 1,5% hingga 3,5%. Inflasi yang terkendali menjaga daya beli masyarakat dan memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan kebijakan moneter yang kondusif. Stabilitas harga juga mengurangi ketidakpastian bagi pelaku usaha dan investor. Selain itu, suku bunga yang terjaga juga membantu menjaga biaya pendanaan tetap rendah. Hal ini positif bagi pertumbuhan kredit perbankan dan ekspansi bisnis emiten.
Katalis positif dalam negeri lainnya adalah lonjakan jumlah investor domestik yang mana telah menembus 16 juta pada pertengahan tahun 2025. Sebagian besar adalah investor ritel, yang semakin melek literasi keuangan dan aktif bertransaksi. Lonjakan ini menciptakan likuiditas dan membuat IHSG tidak sepenuhnya bergantung pada modal asing.
Selain faktor domestik, tren global juga memberikan dukungan positif. Bursa saham Tanah Air mendapat sinyal optimisme dari investor asing yang diperkirakan akan memborong saham di pasar negara berkembang (emerging market) dalam waktu dekat. Survei bulanan Bank of America (BofA) yang dilansir oleh The Financial Times menunjukkan bahwa 37% manajer investasi global kini memiliki porsi lebih besar di saham pasar negara berkembang. Ini adalah level tertinggi sejak Februari 2023.
Peningkatan alokasi ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama adalah optimisme terhadap ekonomi Tiongkok. Data pertumbuhan Tiongkok terbaru menunjukkan perbaikan, yang dinilai mampu meredam dampak perang dagang yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kedua adalah sentimen bearish terhadap dolar AS. Pelemahan dolar AS yang sudah turun hampir 10% terhadap sekeranjang mata uang utama sejak awal tahun, memberikan keuntungan besar bagi aset di negara berkembang, termasuk Indonesia. Biaya pinjaman menjadi lebih murah, dan bank sentral di negara emerging market memiliki ruang lebih luas untuk menurunkan suku bunga.
Kombinasi optimisme terhadap Tiongkok dan pelemahan dolar AS menjadi katalis kuat bagi saham negara berkembang. Sepanjang tahun ini, indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) Emerging Market mencatatkan return lebih dari 16% dalam denominasi dolar AS, mengungguli MSCI Developed Market yang naik sekitar 11% serta indeks S&P 500 di Wall Street yang menguat 8,6%.
Meski reli sudah signifikan, banyak investor percaya ruang kenaikan masih terbuka karena valuasi saham emerging market relatif murah setelah bertahun-tahun underperformance. JP Morgan bahkan menaikan rekomendasi untuk saham emerging market menjadi ‘overweight’, menilai valuasi saat ini sangat menarik.
Hal ini juga sejalan dengan data survei BofA yang menunjukkan bahwa 49% responden menilai saham negara berkembang saat ini undervalued—angka tertinggi dalam lebih dari setahun. Sebaliknya, 91% manajer investasi menilai saham AS sudah overvalued setelah reli cepat dan serangkaian rekor di musim panas ini.
Meskipun optimisme terhadap kinerja IHSG tahun ini semakin menguat, para pelaku pasar tetap harus menapakkan kaki di bumi. Sejarah telah membuktikan bahwa pasar saham, betapapun kuatnya tren kenaikan, selalu memiliki potensi menghadapi guncangan mendadak. Ada beberapa faktor risiko yang patut diwaspadai, baik bersumber dari dalam maupun luar negeri.
Gejolak ekonomi dan politik global masih menjadi ancaman yang nyata. Ketergantungan Indonesia terhadap perdagangan internasional membuat pasar saham domestik rentan terhadap dinamika global. Perlambatan ekonomi Tiongkok misalnya, dapat mempengaruhi permintaan terhadap komoditas ekspor utama Indonesia seperti batubara, CPO, dan nikel. Belum lagi perang dagang yang digaungkan oleh Donald Trump yang bisa ikut andil dalam mempengaruhi sentimen investor global. Kebijakan moneter AS juga menjadi faktor penentu aliran dana asing. Selama dolar AS melemah dan suku bunga The Fed berada pada level stabil, emerging market seperti Indonesia akan diuntungkan. Namun, jika inflasi di AS kembali meningkat dan The Fed mengambil langkah pengetatan dengan menaikkan suku bunga, imbal hasil obligasi AS akan naik, sehingga dana asing berpotensi keluar (capital outflow) dari pasar negara berkembang. Efeknya, IHSG dapat tertekan meski fundamental ekonomi domestik tetap kuat.
Selanjutnya, perubahan regulasi pasar modal atau perpajakan berpotensi mempengaruhi arah pasar. Pemerintah dan otoritas bursa memang memiliki tujuan memperkuat perlindungan investor dan meningkatkan kualitas pasar, namun perubahan mendadak tanpa masa transisi yang cukup dapat menimbulkan kegelisahan. Misalnya, pengetatan aturan perdagangan, perubahan batas auto-rejection, atau kebijakan pajak baru atas dividen bisa memicu penyesuaian portofolio besar-besaran di kalangan investor.
Selain itu, risiko eksternal lain seperti fluktuasi harga minyak dunia, nilai tukar rupiah, serta bencana alam dapat memberikan guncangan jangka pendek terhadap pasar. Harga minyak yang melonjak tajam, misalnya, dapat menekan biaya operasional sejumlah emiten, terutama di sektor transportasi dan manufaktur. Sementara itu, pelemahan rupiah yang terlalu cepat bisa meningkatkan beban utang bagi perusahaan yang memiliki pinjaman dalam mata uang asing.
Walaupun saat ini arah angin sedang bertiup ke arah yang menguntungkan bagi IHSG, setiap investor perlu menyadari bahwa lautan pasar modal tidak selalu tenang. Strategi yang tepat adalah memanfaatkan momentun dengan tetap memasang ‘jangkar’ berupa manajemen risiko yang baik, sehingga ketika badai datang, portofolio tidak terguncang hebat.
Related News

BEI Bidik Transaksi Harian Rp20 Triliun, Antara Ambisi dan Tantangan

Konspirasi Teror Bid Offer Fake dan Penebar Fear di Papan FCA

Saham Bank Terus Anjlok, Apa yang Harus Dilakukan Investor?

Rekening Dormant dan Judi Online Jadi Ancaman Ekonomi

Beli Saham Karena Rekomendasi Influencer? Tahan Dulu

Euforia Investor: Mitos dan Fakta yang Perlu Anda Ketahui