EmitenNews.com - Indonesia akan mulai mengoperasikan perdagangan karbon secara profesional pada awal tahun depan, 2025. Pemerintah serius mendorong perdagangan karbon untuk mendukung pendanaan aksi dan mitigasi iklim di Indonesia. Selain itu juga beragam langkah untuk pelestarian lingkungan.

"Jadi komitmen dan kerja sama pendanaan ini sudah terbentuk, tapi yang jelas juga dukungan teman-teman internasional untuk merapikan sistem perdagangan karbon kita," kata Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq kepada pers, usai penanaman pohon ruang terbuka hijau di Cakung, Jakarta Timur, Jumat (22/11/2024).

Menteri Hanif menyebut dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 berhasil dicapai sejumlah kesepakatan untuk beragam sektor, termasuk kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU) serta sampah.

"Kita akan memulainya beberapa saat setelah siap semua. Proyeksi saya, mungkin sekitar Januari atau Februari, kita sudah akan mulai mengoperasionalkan Indonesia carbon trading secara profesional," tambahnya.

Salah satu alasan keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mendorong perdagangan karbon adalah untuk mendukung pendanaan aksi dan mitigasi iklim di Indonesia. Selain juga beragam langkah untuk pelestarian lingkungan.

Dengan keberadaan sumber pendanaan tersebut, dapat mengisi kesenjangan pendanaan operasional untuk lingkungan hidup. Dengan begitu nanti bursa karbon maupun pasar karbon akan semakin luas.

Indonesia sudah mencapai kesepakatan dengan Jepang untuk saling pengakuan (Mutual Recognition Arrangemen/MRA) yang mengakui kesetaraan sistem kredit karbon kedua negara. Kesepakatan itu diumumkan di sela-sela penyelenggaraan COP29 Azerbaijan pada 12 November lalu.

Dengan kesepakatan itu, terdapat pengakuan sistem sertifikasi yaitu Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) dan Jepang dengan Joint Crediting Mechanism (JCM). Rincian mengenai kesepakatan itu sendiri masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut. 

Kepada pers, Selasa (19/11/2024), Ketua Delegasi Indonesia untuk COP 29, Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan Indonesia mampu menawarkan kredit karbon hingga 577 juta ton. Sebagian besar kredit karbon ini telah melalui proses verifikasi dan siap dipasarkan di pasar internasional. 

Menurut Hashim Djojohadikusumo, Uni Emirat Arab, termasuk Abu Dhabi dan Dubai menunjukkan minat besar untuk membeli sebanyak 287 juta ton. Lalu, 30 juta ton sudah dibeli oleh pemerintah Norwegia. 

Hashim mengklaim ini suatu kemajuan, suatu aset baru. Pemerintah Indonesia bisa dapat penerimaan negara yang luar biasa dari karbon. Apalagi, dalam beberapa bulan ini akan tambahan 600 juta lagi.

Dari kredit karbon ini, pemerintah Indonesia berpeluang mendapatkan penerimaan negara yang luar biasa. Setidaknya, jika 1 ton karbon bernilai minimal USD10, maka Indonesia bisa meraup lebih dari USD10 miliar pada tahun depan.

Seperti diketahui, perdagangan karbon adalah sistem jual-beli sertifikasi atau izin untuk menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) dalam jumlah tertentu. Perdagangan karbon juga dikenal sebagai Emission Trade System (ETS) atau perdagangan emisi karbon. 

Perdagangan karbon dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. 

Dalam perdagangan karbon, negara atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dapat membeli sertifikat penyerapan karbon dari negara atau perusahaan lain yang memiliki potensi untuk menyerap emisi karbon. ***