EmitenNews.com - Pemerintah tengah menggodok usulan pembangunan fasilitas pencampuran untuk komoditas batu bara (coal blending facility) untuk memberikan keadilan dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) Batubara bagi industri maupun perusahaan tambang.


"Kami sedang melakukan diskusi, pendalaman, dan wacana-wacana untuk lebih meningkatkan daya guna kebijakan DMO 25%," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridwan Djamaluddin dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (15/11). Perubahan ini sedang dalam tahap kajian internal Kementerian.


Sebagaima diketahui, pemerintah telah mengatur kewajiban pemenuhan batubara dalam negeri bagi semua BU Pertambangan yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri.


Dalam regulasi tersebut, bagi perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi DMO 25% dari rencana produksi atau kontrak penjualan dalam negeri akan dikenakan larangan ekspor batubara, denda, maupun dana kompensasi.


Ridwan mengakui penetapan kebijakan DMO ini tidak mudah dilakukan oleh perusahaan lantaran tidak seluruh spesifikasi batubara yang diproduksi oleh Badan Usaha (BU) Pertambangan memiliki pasar dalam negeri dan dapat diserap oleh pasar domestik.


"Kami mendorong PLN khususnya atau perusahaan pengguna yang lain untuk membangun fasilitas pencampuran batubara (coal blending facility) yang dikelola BUMN/Swasta untuk mengolah berbagai spesifikasi batubra agar sesuai dengan kebutuhan dalam negeri," jelasnya.


Usulan lainnya adalah dengan membuat skema pengenaan dana kompensasi bagi BU pertambangan yang tidak memenuhi kewajiban DMO. Dana kompensasi ini dapat juga digunakan untuk berbagai keperluan dalam mendukung tingkat kesesuaian produk batubara baik sebagai tambahan subsidi atau dukungan pendanaan untuk coal blending facilty.


Ridwan mengutarakan konsumsi batubara dalam negeri selama ini lebih kecil dibandingkan dengan tingkat produksi batubara nasional. Di samping itu, tidak semua BU pertambangan memiliki kesempatan kontrak penjualan dengan pengguna batubara dalam negeri.


Sebagai gambaran Ridwan menjabarakan realisasi produksi batubara nasional hingga Oktober 2021 sudah mencapai 512 juta ton atau 82% dari target yang ditetapkan pada tahun 2021 sebesar 625 juta ton. Sementara tingkat realisasi DMO baru sebesar 110 juta ton.


Selain kedua usulan di atas, Kementerian ESDM juga tengah mewacanakan pengaturan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price) dalam mengantisipasi adanya disparitas harga komoditas batubara di pasar.


"Kami mencoba melihat peluang-peluang pengaturan yang lebih baik dan memberikan keadilan bagi para pelaku usaha (pertambangan)," kata Ridwan.


Penetapan harga batas atas sudah diimplementasikan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.


Apabila kebijakan ini tidak ditetapkan akan menghindari potensi kecenderungan produsen batubara menghindari berkontrak dengan konsumen batubara dalam negeri saat harga komoditas batubara naik.


"Saat harga naik, (produsen) lebih memilih denda bila harga batubara domestik jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional," Ridwan menambahkan.


Selanjutnya, opsi penetapan harga batas atas dan harga batas bawah. "Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah," tutur Ridwan.


Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B). Skema ini diharapkan akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan.(fj)