Perang Konten Finansial: Siapa yang Edukasi, Siapa yang Menyesatkan?

papan perdagangan di Bursa Efek Indonesia menunjukkan saham terkoreksi. Dok/EmitenNews
EmitenNews.com -Ledakan minat masyarakat terhadap investasi dan literasi keuangan dalam beberapa tahun terakhir tak bisa dilepaskan dari peran media sosial dan digital content. Dari YouTube, TikTok, Instagram, hingga Twitter (X), konten finansial kini menjamur di berbagai platform.
Banyak investor pemula—khususnya generasi muda—menjadikan konten kreator keuangan sebagai rujukan utama dalam mengambil keputusan investasi. Namun, di tengah gencarnya edukasi, muncul pula sisi gelap yang mengkhawatirkan: banjir informasi yang tak tervalidasi, promosi saham tanpa dasar, hingga manipulasi opini pasar.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: apakah konten finansial benar-benar menjadi jembatan literasi, atau justru menambah risiko bagi investor awam? Siapa sebenarnya yang layak dipercaya, dan bagaimana memilah edukasi dari sensasi?
Era Baru Literasi: Dari Buku ke Konten Satu Menit
Dahulu, belajar investasi identik dengan buku tebal, seminar formal, atau pendidikan akademik. Kini, cukup scroll video satu menit, seseorang bisa merasa “siap” membeli saham, kripto, hingga produk derivatif.
Ini adalah sisi positif dari digitalisasi informasi: akses jadi mudah, pembelajaran jadi cepat, dan siapa saja bisa mulai tanpa hambatan teknis. Banyak kreator konten yang memang tulus memberi edukasi, dengan latar belakang kuat di bidang keuangan, investasi, atau ekonomi. Mereka menyederhanakan topik kompleks menjadi bahasa sehari-hari, menyisipkan humor, animasi, atau studi kasus agar lebih relatable.
Tak jarang, konten edukatif mereka membantu publik memahami konsep penting seperti inflasi, manajemen risiko, hingga pentingnya diversifikasi aset. Ini membuka pintu literasi yang sebelumnya tertutup untuk banyak kalangan.
Di Balik Edukasi, Ada Sensasi dan Bias Algoritma
Namun, ketika algoritma platform lebih menghargai engagement ketimbang akurasi, mulailah terjadi distorsi. Konten edukatif bergeser menjadi konten spekulatif.
Judul sensasional seperti “Saham Ini Bisa Naik 10x!” atau “Cuan Cepat Modal 100 Ribu!” lebih cepat viral daripada analisis mendalam yang butuh waktu, data, dan pemahaman fundamental. Banyak konten finansial yang dibuat oleh orang tanpa latar belakang profesional, bahkan hanya berdasar pengalaman pribadi atau "katanya".
Parahnya, sebagian kreator menerima sponsor tersembunyi dari pihak tertentu untuk mempromosikan saham, kripto, atau instrumen berisiko tinggi tanpa mengungkap konflik kepentingan. Fenomena pump and dump menjadi makin sering, di mana saham-saham lapis tiga dipromosikan secara agresif untuk menciptakan euforia sesaat, lalu ditinggalkan saat harga melambung.
Investor pemula yang masuk di harga tinggi akhirnya merugi saat harga anjlok—sementara kreatornya sudah berpindah ke saham baru, atau bahkan diam seolah tak terjadi apa-apa.
Ketika “Influencer Finansial” Lebih Didengar dari Analis Profesional
Salah satu ironi di era ini adalah ketika pendapat influencer dengan jutaan followers dianggap lebih kredibel daripada analis keuangan bersertifikat. Padahal, banyak influencer tidak tunduk pada regulasi ketat seperti yang dikenakan pada pelaku pasar resmi.
Tidak ada kewajiban menyampaikan disclaimer, tidak ada standar verifikasi analisis, dan tidak ada perlindungan bagi penonton jika terjadi kerugian akibat mengikuti saran tersebut.
Di sisi lain, analis resmi dari sekuritas harus mengikuti ketentuan dari OJK, menyampaikan riset berdasarkan data dan metode yang bisa dipertanggungjawabkan, serta tidak boleh memiliki konflik kepentingan yang tidak diungkapkan.
Ketimpangan ini membuat ruang publik jadi bias. Informasi finansial yang valid bercampur dengan opini personal, spekulasi, atau bahkan narasi manipulatif berkedok edukasi. Investor pemula yang tidak memiliki fondasi literasi keuangan yang kuat, rawan terjebak dalam jebakan hype.
Regulasi dan Pengawasan Masih Tertinggal
Sampai saat ini, pengawasan terhadap konten finansial digital masih sangat minim. Tidak ada regulasi khusus yang mengatur konten keuangan dari non-lembaga atau influencer.
Meski OJK dan BEI sudah melakukan beberapa langkah—seperti memberi teguran dan melakukan literasi digital—namun ekosistem media sosial bergerak jauh lebih cepat daripada sistem pengawasan formal.
Celah inilah yang dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk membuat konten “edukasi” yang justru menyesatkan. Bahkan ada yang memanfaatkan kepercayaan followers untuk menjual kelas berbayar, sinyal trading, atau grup premium yang menjanjikan keuntungan tinggi tanpa landasan jelas.
Related News

Trading Dulu Cari Modal, atau Investasi Dulu Bangun Aset?

Perusahaan IPO di BEI: Kualitas Terjamin atau Hanya Kejar Target?

Investor Dilema: Saham Konglomerasi Geser Dominasi Blue Chip

Upbit Indonesia Dukung PP 28/2025 Demi Masa Depan Blockchain Indonesia

Pentingnya Ilmu Bandarmologi untuk Investor Saham Jangka Panjang

Investor Lokal Menopang IHSG: Kekuatan Baru atau Risiko Tersembunyi?