EmitenNews.com - Implementasi Solusi Dua Pilar perpajakan internasional yang disepakati dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral/Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) ke-3 G20 Presidensi Indonesia pada 15-16 Juli 2022 di Nusa Dua, Bali, dinilai mampu menjadi solusi dalam sistem pajak internasional yang selama ini dianggap sudah tidak relevan sehingga memicu peningkatan risiko praktik penghindaran pajak.


Partner, DDTC Fiscal Research & Advisory, Bawono Kristiaji, memaparkan beberapa contoh sistem pajak internasional yang sudah tidak relevan tersebut. Seperti sistem pajak internasional yang merujuk pada separate entity approach atau separate accounting approach, hak pemajakan yang masih berbasis kehadiran fisik, serta penggerusan basis pajak dan pengalihan laba atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).


Aji juga mengatakan, rata-rata 80 persen pendapatan di negara berkembang berasal dari penerimaan pajak, tentunya BEPS atau praktik penghindaran pajak akan sangat merugikan karena berdampak pada terhambatnya pembangunan di negara tersebut. Oleh karenanya, diperlukan solusi dan penanganan secara global untuk mengatasi masalah perpajakan internasional tersebut.


“Karena ini persoalan global lebih baik memang solusinya bersifat multilateral dibanding unilateral atau domestic action, karena bisa menciptakan pajak berganda, ketidakpastian, sekaligus mendistorsi ekonomi global,” ungkap Aji.


Menanggapi hal itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengungkapkan Solusi Dua Pilar yang diinisiasi OECD/G-20 Inclusive Framework (IF) memainkan peran penting untuk memastikan keadilan dan kesetaraan dalam sistem perpajakan, serta diharapkan mampu memperkuat kerangka perpajakan internasional.


Adapun Pilar 1 bersifat wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20 IF yang sudah menyepakati Solusi Dua Pilar. Sedangkan Pilar 2 bersifat common approach (tidak wajib).


“Jadi Pilar Satu ini tidak ditujukan untuk mengatasi penghindaran pajak, tapi lebih ke pengembangan konsep baru terkait hak pemajakan beserta penentuan alokasinya untuk masing-masing negara atas bisnis atau ekonomi yang terdigitalisasi,” ujar Yon.


Sementara Pilar 2 merupakan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) terkait penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum, dan Subject to Tax Rule (STTR) terkait pemberlakuan tarif withholding tax.


Yon berharap, konsep tersebut mampu memberikan dampak positif terhadap upaya pencegahan praktik penghindaran pajak.


“Pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak akan dilakukan melalui mekanisme pertukaran informasi (exchange of information) sehingga otoritas pajak di Indonesia akan memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk melakukan analisa terhadap laporan Wajib Pajak,” ucap Yon.


Senada, Aji menyampaikan dengan tarif pajak global minimum pada Pilar 2, tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi.


“Nah ini tentunya bakal jadi game changer karena ini berupaya untuk mengurangi kompetisi pajak global. Kita tahu bahwa selama dua dekade terakhir itu tarif PPh badan rata-rata global itu turun hampir mencapai 8 persen. Jadi, memang ada fenomena race to the bottom. Sehingga dengan adanya income inclusion rule (penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili), ini akhirnya berupaya mau Anda berinvestasi di mana saja akan dikenakan tarif pajak atau beban pajaknya sama,” papar Aji.(fj)