EmitenNews.com - Pengguna Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) terus meningkat. Lihat saja. Volume transaksi pembayaran digital melalui layanan QRIS terus meningkat tajam, di tengah protes Amerika Serikat terhadap sistem digital keuangan bikinan Bank Indonesia itu. AS menganggap QRIS tidak transparan dan menjadi bagian dari layanan keuangan yang menghambat perdagangan AS di Indonesia.

Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (16/7/2025), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, volume transaksi QRIS sepanjang kuartal II-2025 terus tumbuh hingga 148,5% dibanding periode yang sama tahun lalu (yoy). Kenaikan itu dipicu oleh terus naiknya jumlah pengguna dan merchant.

"Transaksi pembayaran digital melalui QRIS tetap tumbuh 148,5% yoy, didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant," kata Perry Warjiyo.

Meroketnya volume transaksi QRIS ini sejalan dengan transaksi ekonomi digital di Indonesia juga juga terus menanjak. Misalnya, transaksi pembayaran digital aplikasi mobile internet selama kuartal II-2025 telah mencapai 11,67 miliar transaksi atau tumbuh 30,51% yoy.

Perry Warjiyo menyebutkan, volume transaksi aplikasi mobile dan internet juga terus tumbuh masing-masing sebesar 32,16% dan 6,95% yoy.

Sebelumnya, seperti ditulis CNBC Indonesia, sorotan pemerintah Trump terhadap QRIS itu tertuang dalam dokumen Foreign Trade Barriers yang dikeluarkan United States Trade Representative (USTR) pada akhir Februari 2025.

Dalam dokumen USTR 2025 tersebut, pemerintah Presiden Donald Trump menyoroti Peraturan BI No. 21/2019. Dalam PBI itu, Indonesia menetapkan standar nasional QR Code, disebut QRIS, atau Quick Response Indonesia Standard untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.

Dokumen USTR itu mencatat, perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank-bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberitahu tentang sifat perubahan potensial tersebut maupun diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut. Termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada.

AS juga menyoroti Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mewajibkan seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit yang akan diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin oleh BI.

Masih kata dokumen USTR, Senin (21/4/2025), Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin memperoleh pengalihan lisensi untuk berpartisipasi dalam NPG, melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik.

Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan bahwa perusahaan asing menjalin kerja sama dengan switch GPN Indonesia yang berlisensi untuk melakukan pemrosesan transaksi ritel domestik melalui GPN.

Menurut USTR, BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi. ***