EmitenNews.com - Bank Tabungan Negara (BBTN) bakal menuntaskan KPR dengan sertifikat bermasalah Rp3,3 triliun. Itu dari 38.144 debitur dengan kredit kepemilikan rumah (KPR) perseroan. Nah, untuk menyelesaikan problem tersebut, perseroan telah menyiapkan sejumlah langkah strategis. 

Berdasar skenario, perseroan akan menyelesaikan sertifikat bermasalah tersebut dalam 3 tahun ke depan sampai edisi 2028. Estimasi penyelesaian kasus tersebut menjadi sebagai berikut. Pada 2025, akan diselesaikan sebanyak 15 ribu sehingga posisi menjadi 23.144.

Lalu, pada 2026, akan diselesaikan sebanyak 13 ribu sehingga posisi menjadi 10.144. Selanjutnya, pada 2027, akan diselesaikan sebanyak 7.000 sehingga posisi menjadi 3.144. ”Pada 2028 akan diselesaikan seluruhnya sehingga posisi menjadi nihil,” tukas Ramon Armando, Corporate Secretary Division Head Bank BTN. 

Kemudian, untuk menangkal kasus serupa tidak terulang, perseroan telah membentuk divisi operasional kredit. Divisi tersebut bertugas untuk selalu menjaga, memastikan legalitas pemberian kredit telah terpenuhi, dan terselesaikan sesuai ketentuan, dan peraturan perundang-undangan. 

Selain itu, perseroan telah melakukan mitigasi risiko dengan membentuk satuan tugas khusus (tim task force) untuk penanganan developer, dan notaris bermasalah. MOU dengan Kementerian ATR/BPN untuk percepatan penyelesaian sertifikat. Profiling permasalahan sertifikat berdasar kelompok developer. Melakukan rating/segmentasi developer eksisting antara lain dengan rating platinum, gold, silver, dan bronze.

Kategori rating diukur berdasar volume penjualan, non performing loan atau pinjaman bermasalah developer maupun customer, dan ambang batas pengurusan sertifikat. Pendaftaran dan evaluasi kinerja notaris yang bekerja sama dengan perseroan melalui eMitra. Melakukan langkah hukum melalui jalur litigasi terhadap developer, dan notaris bermasalah. Membentuk channel pengaduan sertifikat (150-286 atau1500-286). 

Skadar informasi, periode 2018 tercatat 120 ribu rumah dengan KPR perseroan mengalami permasalahan sertifikat. Itu terjadi karena ada permasalahan pada developer tersebab sertifikat dalam permasalahan hukum, dan perusahaan developer bubar atau pailit. Lalu, notaris tidak bertanggung jawab dalam penyelesaian sertifikat. Sertifikat hilang, berada di bank lain/pihak lain. Penjualan di bawah tangan oleh debitur.

Perseroan memahami kondisi tersebut berpotensi menimbulkan risiko baik dari aspek operasional, hukum, dan reputasi termasuk potensi adanya tuntutan hukum dari debitur. Selain itu, juga memiliki dampak terhadap keuangan berupa kewajiban pencadangan dana penyelesaian sertifikat sesuai kebijakan Perseroan. 

Kondisi itu, juga menjadi kewajiban perseroan dalam penerapan perlindungan konsumen bagi debitur yang beritikad baik sesuai ketentuan regulator, dan untuk memitigasi risiko kredit apabila debitur gagal bayar/wanprestasi. (*)