EmitenNews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak cermat menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi terdakwa mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II, Richard Joost Lino (RJ. Lino). Ketua Majelis Hakim Rosmina saat membacakan vonis, Selasa (15/12/2021), dissenting opinion. RJ. Lino, terdakwa kasus pengadaan dan pemeliharaan 3 unit QCC, dihukum 4 tahun penjara, dan denda Rp500 juta.


"Unit forensik akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat dalam menghitung perhitungan kerugian negara," kata ketua majelis hakim Rosmina, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.


Dalam perkara yang penyelidikannya memakan waktu hingga lintas tiga periode kepemimpinan KPK itu, terdakwa RJ. Lino divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim menilai  terdakwa terbukti melakukan korupsi pengadaan dan pemeliharaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) PT Pelindo II pada tahun 2010, di Pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak (Kalimantan Barat), dan Pelabuhan Palembang (Sumatera Selatan).


Karena ketidakcermatan KPK itulah, hakim Rosmina yang memimpin persidangan, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia menyatakan dalam diri RJ. Lino tidak ditemukan niat jahat sehingga tidak dapat dipidana. Karena hakim anggota satu Teguh Santoso dan hakim anggota dua selaku hakim ad hoc tipikor Agus Salim meyakini RJ. Lino melakukan korupsi, terdakwa tetap dinyatakan bersalah, dan dihukum.


Dalam keterangannya yang dikutip Kamis (16/12/2021), hakim Rosmina menyampaikan sejumlah pertimbangan sebagai alasan memberikan opini berbeda. Pertama, terkait nilai pembayaran pengadaan dan pemeliharaan 3 unit QCC twin lift61 ton yang disebut jaksa penuntut umum (JPU) KPK mengakibatkan kerugian negara USD1.997.740,23, atau sekitar Rp17 miliar.


Perhitungan kerugian negara dilakukan dua lembaga, yaitu BPK RI dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK. Berdasarkan hasil perhitungan pembayaran riil oleh PT Pelindo II kepada HDHM China, kata Rosmina, sebesar USD15.165.150 dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK dan BPK.


Itu terjadi karena kepada PT HDHM dikenai denda keterlambatan pengiriman barang. Namun, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK menyebutkan jumlah bersih yang diterima HDHM dari Pelindo II atas pelaksanaan pengadaan 3 unit pengadaan QCC, USD15.554.000.


Dengan data seperti itu, Rosmina menilai, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat menghitung jumlah kerugian negara. BPK, menurut Rosmina, mencatat kerugian negara dengan cara menghitung selisih nilai pembayaran pembangunan dan pengiriman serta pemeliharan 3 unit QCC dengan nilai realiasi pengeluaran HDHM.


Sedangkan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memilih untuk (A) menghitung jumlah bersih yang diterima HDHM dari pembayaran Pelindo II, (B) menghitung jumlah pengadaan 3 QCC yaitu nilai HPP di manufaktur di China ditambah margin keuntungan wajar dan biaya lain-lain. Termasuk biaya pengiriman dan biaya lainnya sampai siap dipakai Pelindo II sehingga jumlah kerugian negara, poin (A) dikurangi poin (B).


Menurut hakim Rosmina, di antara metode perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPK dan KPK terjadi perbedaan. Yaitu, BPK tidak lagi memperhitungkan keuntungan penyedia barang. Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK menghitung keuntungan meski kerugian negara disebut timbul akibat adanya penyimpangan-penyimpangan.


Rosmina menyebut tujuan pengadaan barang adalah keuntungan baik penyedia maupun pengguna. Jika pengadaan menyimpang, keuntungan tidak dapat diterima. Namun, hitungsn KPK terdapat perbuatan-perbuatan menyimpang dari peraturan, namun tetap kepada penyedia barang diberi hak mendapat keuntungan.


Perhitungan keuntungan oleh Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, menurut Rosmina, telah melanggar asas perhitungan kerugian negara, yaitu keuntungan hanya dapat diberikan jika ada pelanggaran. Oleh karena itu, katanya lagi, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK dilakukan secara tidak cermat dan melanggar asas perhitungan kerugian negara, sehingga perhitungan keuntungan bisa dikesampingkan.


Kedua, Rosmina menyebut penggunaan QCC twin lift membawa keuntungan baik bagi pengguna jasa pelabuhan maupun pada perusahaan dalam hal ini Pelindo II. Meski terdapat penyimpangan dalam pengadaannya, menurut dia, substansi penyimpangan tujuan terdakwa adalah mendapat atau mengejar keuntungan PT Pelindo II, sesuai maksud dan tujuan perseroan.


"Dalam diri terdakwa tidak ditemukan niat jahat melakukan korupsi. Maka, hakim ketua majelis tidak sepakat dengan penuntut umum, hakim anggota I dan hakim anggota II ad hoc. Jika pada diri terdakwa tidak ditemukan niat jahat pengadaan 3 unit QCC, tidak ada pidana tanpa ada niat jahat dan beralasan hukum untuk membebaskan terdakwa," ucap Rosmina.


Atas vonis tersebut, RJ. Lino dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari. Sementara itu, KPK mengapresiasi putusan majelis hakim atas RJ Lino, meski vonis tersebut masih di bawah tuntutan Jaksa KPK. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (15/12/2021), mengatakan, putusan majelis hakim itu, sekaligus menuntaskan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK. Pasalnya, pengusutan perkara tersebut telah memakan waktu hingga lintas tiga periode kepemimpinan di lembaga antirasuah.


Lamanya waktu pengusutan perkara disebabkan adanya kendala penghitungan kerugian keuangan negara. KPK juga mengapresiasi putusan majelis hakim yang menilai perbuatan mantan Direktur Utama PT Pelindo II, RJ. Lino itu telah merugikan negara sekitar Rp28 miliar. ***