Mengapa Harga Saham Sudah Murah, IHSG Masih Loyo?
IHSG mengalami koreksi pada awal perdagangan hari Kamis 19 Desember 2024. Foto/Rizki EmitenNews
EmitenNews.com -Sudah memasuki pertengahan bulan Desember, tapi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mencatatkan koreksi di tahun 2024 ini. Padahal seperti yang diketahui, bulan Desember biasanya performa IHSG menunjukkan tajinya, lantaran identik dengan fenomena window dressing. Selama 20 tahun terakhir (kecuali tahun 2022), IHSG mencatatkan kenaikan pada bulan Desember.
Jika kita menengok ke harga saham-saham di Bursa Efek Indonesia, terlihat bahwa harga saham-saham tersebut sudah murah, tapi kinerja IHSG belum menunjukkan tanda-tanda penguatan. Bukankah di harga saham yang dihargai murah ini, seharusnya para investor sudah berburu membeli saham tersebut? Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar: mengapa IHSG tidak kunjung naik, meskipun banyak saham yang sudah undervalued?
Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia sedang undervalued adalah valuasi saham. Saat ini, banyak saham yang diperdagangkan dengan Price to Earnings Ratio yang jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya. Bahkan, IHSG sendiri telah mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir yang mencerminkan tekanan besar dari pasar global.
Namun, rendahnya valuasi saham di Indonesia ini tampaknya belum cukup menarik bagi investor asing. Penyebab utamanya adalah optimisme penguatan ekonomi Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden yang baru terpilih, yaitu Donald Trump. Presiden Donald Trump diyakini akan menjalankan kebijakan pro bisnis yang agresif yang dapat meningkatkan daya tarik aset-aset di Negeri Paman Sam tersebut, termasuk mata uang dolar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong investor global untuk memindahkan dana mereka dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, menuju ke pasar Amerika Serikat.
Keputusan Suku Bunga Acuan oleh Federal Reserve (The Fed) juga menjadi salah satu fokus utama pasar bulan ini. Jika The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga, maka imbal hasil aset-aset berbasis dolar akan semakin menarik, mempercepat arus keluar dana asing dari pasar saham Indonesia. Belum lagi, pergerakan imbal hasil obligasi atau yield treasury yang terus meningkat mencerminkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi serta kebijakan moneter yang lebih ketat di Amerika Serikat. Kenaikan yield ini tentunya akan menjadi pesaing kuat untuk saham, terutama di pasar negara berkembang yang dianggap lebih berisiko.
Belum lagi, jika kita lihat tingginya tensi geopolitik yang akhir-akhir ini terjadi, seperti ketegangan antara negara-negara besar, turut membebani sentimen pasar. Sebagai investor, hal ini tentu saja akan menimbulkan kekhawatiran yang membuat mereka cenderung mencari aset yang aman seperti dolar AS dan emas, meninggalkan pasar modal negara berkembang.
Selain adanya sentimen eksternal yang mempengaruhi pergerakan IHSG, sentimen juga berasal dari dalam negeri. Meskipun ekonomi domestik relatif stabil, ada beberapa isu yang membuat investor lebih berhati-hati. Pemerintah tengah menggodok kebijakan fiskal baru yang bertujuan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Namun, implementasi kebijakan ini sering kali menimbulkan ketidakpastian dalam jangka pendek.
Peningkatan defisit neraca perdagangan yang dapat menekan nilai tukar rupiah, juga dapat meningkatkan kekhawatiran investor terhadap stabilitas makroekonomi Indonesia.
Meski demikian, sebenarnya fundamental perusahaan-perusahaan dalam negeri masih cukup stabil. Laporan keuangan beberapa emiten besar menunjukkan kinerja yang baik, meskipun tertekan oleh perlambatan global. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan yang terjadi di pasar modal lebih mencerminkan situasi ekonomi internasional dibandingkan kinerja perusahaan-perusahaan dalam negeri.
Dalam jangka panjang, proyeksi IHSG untuk tahun 2025 memberikan gambaran yang cukup menarik. Menurut laporan dari JP Morgan, skenario base case IHSG adalah di level 7.900, sementara untuk skenario bear case di level 6.500 dan bullish case di level 8.400
Jika rupiah terus melemah hingga melebihi Rp 16.000, daya beli masyarakat menurun, dan terjadi peningkatan tarif dengan China yang membuang kelebihan kapasitas ke Asia Tenggara, maka skenario bear case dapat terjadi. Sementara itu, Bullish case dapat terjadi dengan mempertimbangkan dampak perang dagang yang terbatas ke Indonesia, dimana posisi Indonesia yang diuntungkan karena adanya pengalihan produksi dari China dan adanya pemotongan suku bunga yang lebih cepat dari perkiraan.
Menyikapi pergerakan IHSG akhir-akhir ini, sebagai investor, kondisi ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi portofolio. Ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan, yaitu:
Pertama: Tetap Tenang dan Bersabar
Pergerakan IHSG yang tertekan ini sifatnya sementara, terutama jika fundamental perusahaan-perusahaan dalam negeri tetap stabil. Investor harus bersabar dan tidak membuat keputusan yang terburu-buru.
Kedua: Fokus pada saham dengan fundamental kuat
Pilihlah saham-saham emiten yang memiliki fundamental yang baik, terutama sektor yang usahanya yang tidak terlalu terpengaruh oleh tekanan global
Ketiga: Manfaatkan Momentum
Related News
Ibu Cerdas dan Investasi Bijak Kunci Masa Depan Keluarga Sejahtera
PPN Naik 12 Persen, Bagaimana Efek pada Daya Beli dan Harga Barang?
BP Danantara: Implikasi Salah Kelola, Masuk Judgement Bussines Rule
Orang Kecil Jangan Main Saham, Karena Akan Rugi dan Judi!
Dampak Medsos dalam Mendorong Minat Masyarakat Terhadap Investasi
Perspektif Analis: Memanfaatkan Tren Investasi Global 2025