EmitenNews.com - Mahkamah Konstitusi telah melarang menteri/wakil menteri untuk merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Larangan untuk para pembantu Presiden untuk double job ini sudah tertuang jelas dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, meski larangan untuk wakil menteri tidak tertulis secara literal. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan hal tersebut dalam  siniar di akun YouTube-nya, Rabu (30/4/2024). Eks menteri pertahanan itu menanggapi adanya gugatan ke MK, yang menyoalkan rangkap jabatan oleh pejabat.

"Putusan MK begini, dalam Undang-undang Kementerian ada ketentuan bahwa menteri dilarang menjabat di BUMN tetapi tidak ada penegasan wamen itu boleh enggak merangkap. Menurut MK larangan Wamen ini enggak perlu diputuskan dalam sebuah amar karena bagi MK larangan yang melekat pada menteri melekat juga pada wakil menteri," ucap Mahfud MD.

Adanya gugatan baru yang meminta MK untuk meninjau kembali larangan rangkap jabatan, dalam penilaian Mahfud MD, hanya mempertegas putusan MK. Pasalnya, setelah 2019 hanya ada beberapa Wakil Menteri yang merangkap jabatan di BUMN. 

"Karena itu (rangkap jabatan) semakin banyak di pemerintahan baru, kalau dulu kan masih satu atau dua Wamen yang jadi (komisaris). Sekarang sudah banyak sekali," kata Mahfud  MD.

Perkembangan terbaru, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara digugat ke MK oleh seorang advokat bernama Juhaidy Rizaldy Roringkon, asal Sulawesi Utara. Gugatan dengan nomor perkara 21/PUU-XXIII/2025 ini akan disidangkan perdana pada Selasa (22/4/2025) di MK. 

Dalam petitumnya, pemohon meminta agar ada penambahan frasa "wakil menteri" dalam Pasal 23 UU 39/2008 yang berkaitan dengan larangan menteri rangkap jabatan. 

"Menyatakan frasa 'Menteri' sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Menteri dan Wakil Menteri'." Demikian gugatan tersebut. 

Juhaidy Rizaldy Roringkon berpandangan bahwa wakil menteri sama posisinya dengan menteri yang ditunjuk secara langsung oleh presiden. 

Dalam gugatannya, Juhaidy Rizaldy Roringkon membeberkan enam wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau dewan pengawas badan usaha milik negara. 

Pejabat para wakil menteri itu adalah Kartika Wirjoatmoko sebagai komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), Aminuddin Maruf sebagai komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Dony Oskaria sebagai wakil komisaris utama PT Pertamina (Persero). 

Lalu, tiga lainnya adalah Suahasil Nazara sebagai wakil komisaris PLN, Silmy Karim sebagai komisaris PT Telkom Indonesia, dan Sudaryono sebagai ketua dewan pengawas Perum Bulog. 

Ada juga gugatan empat mahasiswa UI

Sementara itu, empat mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggugat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, karena banyaknya ketua umum partai politik yang menjabat sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan Prabowo Subianto. 

Para pemohon tersebut adalah Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, Keanu Leandro Pandya Rasyah, dan Vito Jordan Ompusunggu yang secara khusus menggugat Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara. 

Mereka menilai, ketua umum yang merangkap jabatan sebagai menteri tidak hanya menyebabkan terdegradasinya check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga menyebabkan maraknya praktik pragmatisme parpol. 

"Hal tersebut melanggar salah satu peran parpol sebagai salah satu pihak yang wajib menghormati konstitusi dan demokrasi di Indonesia," tulis permohonan dengan nomor perkara 35/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan dalam sidang MK, Senin (28/4/2025).