EmitenNews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu strategi lain untuk menghadirkan Gubernur Papua Lukas Enembe. Rencana pemeriksaan oleh KPK, Senin (26/9/2022) ini, tersangka kasus korupsi itu, dipastikan tak bisa memenuhinya.  Jauh hari sebelumnya, tim hukum memastikan kliennya belum bisa memenuhi panggilan pemeriksaan kedua oleh KPK. Alasannya, masih terkendala kesehatan. KPK diminta menerapkan tindakan hukum jemput paksa.


"Beliau masih dalam kondisi sakit. Kaki pak Lukas masih bengkak sehingga tidak bisa berjalan," kata tim hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Alosius Renwarin di Jayapura, Kamis (22/9/2022).


Namun, Alosius menyebut, kliennya akan tetap kooperatif dan telah mengirim tim hukumnya ke Jakarta. Menurut dia, Koordinator tim pengacara Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening sudah ke Jakarta. “Pak Stefanus akan memberikan surat terkini kondisi beliau terakhir dan menyampaikan beliau belum bisa hadir untuk memenuhi pemeriksaan."


Selain itu, tim hukum juga akan meminta KPK untuk memberikan izin bagi kliennya berobat di luar negeri. Alosius berkata pihaknya akan mengkomunikasikan adanya keringanan dari negara untuk Gubernur Lukas ke luar negeri berobat, atau mendatangkan dokternya.


Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam pesan tertulisnya kepada wartawan, Kamis (22/9/2022), menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi mengirimkan surat panggilan kedua terhadap Lukas Enembe untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. KPK meminta Lukas Enembe dan kuasa hukumnya bersikap kooperatif untuk hadir pemeriksaan pada Senin (26/9/2022).


Ali Fikri mengingatkan, pemeriksaan tersebut merupakan kesempatan bagi Lukas Enembe untuk menjelaskan terkait kasus yang menjeratnya kepada penyidik. Dia juga menyatakan, Enembe harus membuktikan secara hukum apakah dia terlibat atau tidak dalam kasus dugaan korupsi itu, dan bukan menyebar narasi dugaan kriminalisasi.


Seperti diketahui penyidik KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka dugaan gratifikasi pada 5 September 2022. Kuasa hukum Enembe, Stefanus Roy Renin, menyebut KPK menduga kliennya menerima gratifikasi Rp1 miliar terkait proyek di Pemerintah Provinsi Papua.


Selain itu, ada yang lebih serius. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membongkar dugaan penyimpanan dan pengelolaan uang Gubernur Lukas Enembe yang dinilai tidak wajar. Salah satu dari 12 temuan PPATK itu, berupa setoran tunai dari sang gubernur yang diduga mengalir ke kasino judi di luar negeri, senilai Rp560 miliar.


"Salah satu hasil analisis itu terkait dengan transaksi setoran tunai yang bersangkutan di kasino judi senilai USD55 juta, atau Rp560 miliar. Itu setoran tunai dilakukan dalam periode tertentu," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Senin (19/9/2022).


Antara lain karena itulah, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, nilai dugaan korupsi Enembe bukan hanya terkait dengan gratifikasi senilai Rp1 miliar, seperti yang disebut tim pengacara gubernur. Ada kasus-kasus lain yang sudah didalami terkait kasus ini. Misalnya, ratusan miliar dana operasional pimpinan, dana pengelolaan PON, kemudian juga adanya manajer pencucian uang yang dilakukan atau dimiliki oleh Lukas Enembe.


“Saat ini saja ada blokir rekening Lukas Enembe sebesar Rp71 miliar. Jadi, bukan Rp1 miliar,” ujar Mahfud.


Mahfud juga meminta Enembe mengikuti proses hukum dan memenuhi panggilan pemeriksaan KPK. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, menjamin jika KPK tidak mempunyai cukup bukti maka Lukas Enembe akan dilepas. “Jika tidak cukup bukti, kami ini semua di sini menjamin, dilepas, endak ada, dihentikan itu kasusnya.”


Sebaliknya, jika KPK bisa menunjukkan bukti kuat atas dugaan korupsi itu, Mahfud meminta Enembe bertanggung jawab atas perbuatannya. “Tetapi, kalau cukup bukti ya harus bertanggung jawab karena kita sudah bersepakat membangun Papua yang bersih dan damai sebagai bagian dari pembangunan NKRI.”


Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, Gubernur Papua Lukas Enembe bisa dijemput paksa jika tidak menghadiri panggilan kedua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin (26/9/2022). Menurut Boyamin, penjemputan paksa terhadap seorang tersangka yang telah dipanggil dua kali tetapi tidak datang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


"Kalau tidak hadir dua kali, satu-satunya hukum yang diberikan oleh KUHAP kita, perundang-undangan kita adalah upaya paksa, yaitu diterbitkan surat perintah membawa. Dalam bahasa umumnya ditangkap, itu saja sarananya," ujar Boyamin kepada wartawan, Sabtu (24/9/2022).


Boyamin mengingatkan bahwa KPK pernah mampu menangkap mantan Bupati Aru, Maluku, Teddy Tengko, terpidana korupsi APBD Aru tahun 2006-2007 yang juga memiliki banyak pendukung. Menurut Boyamin, penangkapan eks Bupati Aru dilakukan KPK dengan melibatkan TNI-Polri. Oleh karena itu, KPK juga seharusnya bisa menangkap Enembe, meski memiliki banyak pendukung. ***