EmitenNews.com - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menilai bahwa indikator sektor eksternal relatif baik dan terkendali. Hal ini ditunjukkan dengan konsistensi suplus neraca perdagangan selama 27 bulan berturut-turut dengan nilai capaian tertinggi sepanjang sejarah pada bulan April 2022 yakni sebesar USD7.56 miliar.


Selain itu, cadangan devisa juga berada pada level yang tinggi, yakni pada angka 132,2 atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor. "Rasio utang luar negeri juga masih terjaga pada level yang aman," katanya.


Selain dari indikator eksternal, berbagai leading indicator lain juga mengalami perbaikan seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada pada angka 128,2 per Juni 2020 sehingga menunjukkan optimisme konsumen yang tinggi pada perekonomian nasional.


Selanjutnya Purchasing Managers’ Index juga masih terjaga pada angka yang cukup tinggi yakni 51,3. Pertumbuhan kredit juga memperlihatkan angka yang impresif yakni sebesar 7,68% (yoy) untuk kredit modal kerja dan 5,59% (yoy) untuk kredit investasi. Di samping itu, indikator yang cukup penting lainnya adalah penjualan ritel yang tumbuh tinggi sebesar 15,42% (yoy) sehingga menunjukkan daya beli masyarakat yang kembali pulih pasca pandemi.


“Ritel menjadi indikator utama untuk melihat bagaimana leading indicators makro berjalan. Salah satunya dengan memperhatikan bagaimana harga ritel dan perkembangannya disamping berbagai indikator yang lain, angka-angka tersebut sangat penting di tengah berbagai ketidakpastian global yang memang betul-betul masih di depan mata namun kita relatif bisa mengendalikannya,” ungkap Sesmenko Susiwijono.


Terkait dengan penjualan ritel tersebut, meskipun telah mengalami peningkatan yang cukup tinggi, masih terdapat berbagai tantangan dan kekurangan yang harus diatasi seperti kesiapan pelaku usaha dalam mengatasi keseimbangan antara supply dan demand.


Hal ini karena masih banyak ditemui pelaku usaha ritel yang menetapkan target supply setara dengan kondisi di kala pandemi namun dari sisi demand telah kembali normal sehingga terjadi gap diantaranya. Selain itu, disrupsi rantai pasok juga perlu untuk diwaspadai pelaku usaha terlebih terdapat beberapa negara mitra dagang Indonesia yang mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi cukup mendalam hingga saat ini.(fj)