EmitenNews.com - Polemik mengenai investasi industri miras belakang ini menarik dicermati. Tidak seperti kebijakan lainnya, pembukaan izin dan pemberian kemudahan investasi lainnya yang kerap diumumkan secara terbuka, soal investasi miras ini terkesan diam-diam.


Di situs kepresidenan tidak ada berita atau siaran pers khusus yang mengangkat soal pernyataan presiden terkait investasi miras. Mungkin terselip di antara puluhan atau ratusan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah. Dan judul peraturan perundang-undangannya pun tidak menyebut miras, karena adanya di bawah Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal .


Entah siapa yang pertama mencium dan mengungkap terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 itu, sehingga beleid yang muncul dalam senyap itu menjadi ketahuan, dan ibarat bom, langsung meledak. Karena masalah miras memang persoalan sensitif buat masyarakat Indonesia yang dikenal agamis.


Lewat Perpres itu pemerintah membuka pintu untuk investor baru baik lokal maupun asing untuk minuman beralkohol di 4 provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Salah satu tujuannya untuk menghidupkan ekonomi yang lesu diterpa pandemi covid-19. Tapi sejauh mana kebijakan ini akan memberikan pengaruh terhadap ekonomi?


Berdasarkan laporan APBN KiTa, per Januari 2021 penerimaan cukai dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA) tercatat Rp 250 miliar. Realisasi ini anjlok 15,18 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 290 miliar.


Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan cukai dari miras sebesar Rp 5,56 triliun. Artinya, capaian di akhir Januari 2021 itu baru 4,43 persen dari target. Penurunan penerimaan cukai MMEA ini, seperti dikutip dari laporan APBN KiTa, disebabkan penurunan produksi yang terjadi sejak kuartal II akibat kondisi pandemi yang memukul sektor pariwisata nasional.


Produksi miras selama Januari 2021 sebenarnya mulai membaik. Namun terjadi penundaan pembayaran cukai, sehingga realisasinya menurun.

Tahun lalu realisasi penerimaan cukai miras senilai Rp 5,76 triliun, turun 21,52 persen dari periode selama 2019 yang mencapai Rp 7,34 triliun. Realisasi cukai miras selama 2020 juga tak mencapai target, yakni hanya 81,13 persen dari target tahun lalu Rp 7,10 triliun.


Apakah angka penerimaan Rp 7 triliunan itu besar atau kecil, bisa jadi relatif. Tapi dengar alasan PBNU dan Muhammadiyah mengapa dua ormas ini dan banyak ormas Islam lainnya, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak pemberian izin investasi miras.


 "Meski investasi miras ada manfaatnya untuk ekonomi tapi mudharatnya jauh lebih besar. Sebab, hal ini menyangkut mudharat yang langsung terhadap kehidupan manusia," kata Ketua PBNU, KH Marsudi Suhud.


Karena itu Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti berharap pemerintah mau mendengarkan aspirasi umat terkait terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021. "Sebaiknya pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi saja, tetapi juga dampak kesehatan, sosial, dan moral bangsa," timpalnya.


Bukan cuma di level nasional. Di level provinsi DKI Jakarta saja polemik soal investasi miras sudah beberapa waktu lalu panas. Ketika soal terbitnya Perpres No.10 Tahun 2001 dipedebatkan di medsos, isu masih adanya penyertaan saham Pemprov DKI di pabrik bir Delta Jakarta ikut diangkat.


Kepemilikan saham Pemprov DKI di pabrik minuman beralkohol merek Anker itu memang sudah ada sejak zaman Gubernur Ali Sadikin era 70-an. Ketika pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno terpilih menjadi gubernur, sempat digodog rencana pelepasan saham PT. Delta Jakarta (Tbk). Tapi rencana itu mendapat penolakan dari DPRD. 


"Selama saya menjadi Ketua DPRD yang kedua kali ini, itu Anker Bir enggak akan saya jual Pak, enggak ada salahnya bos. PT Delta (cek dulu) tuh enggak ada salahnya," kata Ketua DPRD dari PDIP, Prasetio. Rencana pun gagal.


Di Indonesia, definisi "minuman keras" dan "minuman beralkohol" memang tercampur aduk dan cenderung dianggap barang yang sama. Termasuk minuman fermentasi yang tidak disuling seperti bir, tuak, anggur, dan cider. Begitulah yang termuat dalam RUU Anti Miras yang telah dibuat sejak tahun 2013.


Istilah "hard liquor" yang juga berarti "minuman keras" digunakan di Amerika Utara dan India untuk membedakan antara minuman suling dari yang tidak disuling (jauh lebih rendah kadar alkoholnya).


"Minuman keras" merujuk minuman suling yang tidak mengandung tambahan gula dan memiliki setidaknya 20% alkohol berdasarkan volume (ABV). Minuman keras yang populer antara lain arak, brendi, brendi buah (juga dikenal sebagai eau-de-vie atau schnapps), gin, rum, tequila, vodka, dan wiski.