EmitenNews.com - Pemerintah menanggapi laporan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang mencatat unrecorded impor (impor tidak tercatat) produk tekstil mencapai 31 persen. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan pembatasan atau restriksi impor produk tekstil sebagai tindak lanjut. Ini bagian dari semangat pemerintah untuk melindungi pasar domestik yang terpukul oleh impor ilegal produk tekstil.

 

Dalam keterangannya yang dikutip Selasa (28/3/2023), Menkop Teten Masduki mengatakan, bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, pihaknya bertindak cepat untuk melindungi pasar domestik yang selama ini disuplai oleh produk-produk tekstil UMKM, dan terpukul oleh unrecorded impor yang mencapai 31 persen pakaian jadi. Termasuk pakaian bekas yang ilegal.

 

“Pasar domestik terpukul oleh impor yang tidak tercatat, yang mencapai 31 persen, termasuk di dalamnya pakaian bekas,” kata Teten Masduki dalam konferensi pers di Kantor KemenKopUKM Jakarta, Senin (27/3/2023).

 

Impor pakaian jadi terutama pakaian bekas ilegal sangat mengganggu pasar lokal. Pasalnya, produk lokal tidak bisa bersaing dari segi harga dengan pakaian bekas ilegal yang notabene merupakan sampah dan tidak membutuhkan biaya produksi.

 

“Pakaian bekas ilegal ini masuk ke Indonesia, sebagai sampah. Ya, tidak mungkin kita bisa bersaing, pasti mati UMKM kita di pasar domestik,” ujar Teten Masduki.

 

Impor pakaian jadi dan alas kaki

Satu hal, selain impor tidak tercatat yang mencapai 31 persen, Asosiasi Pertekstilan Indonesia juga mencatat produk impor tekstil legal berupa pakaian jadi dan alas kaki menguasai 43 persen pasar dalam negeri.

 

Semua itu dinilai sudah mengganggu pasar domestik. Karena itu, pemerintah melakukan restriksi terhadap impor produk tekstil, seperti yang juga dilakukan banyak negara yang telah menerapkan restriksi, untuk melindungi produk dalam negeri. 

 

Menkop Teten Masduki mencontohkan ekspor sawit ke Eropa yang ketat. Kemudian, ekspor pisang ke pasar Amerika yang mewajibkan verifikasi melalui 21 sertifikat, tiga sertifikat di antaranya wajib ditinjau ulang setiap enam bulan sekali. Ia menilai perlindungan negara-negara itu terkadang mengada-ada, sekedar untuk membatasi pasar domestiknya dari serbuan produk luar.