EmitenNews.com - Tren penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Tahun 2021 penerimaan perpajakan tumbuh signifikan 20,4% atau kembali ke level prapandemi dan terus tumbuh mencapai 31,4% di 2022. Dan pada 2023 hingga Mei penerimaan pajak masih tumbuh positif hingga double digit yang utamanya didorong oleh pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2023.
Director DDTC Fiscal Research & Advisory, Bawono Kristiaji optimis realisasi penerimaan pajak tahun 2023 yang ditargetkan sebesar Rp1718 triliun akan tercapai, mengingat historis tren pertumbuhan realisasi penerimaan pajak tahunan selama ini berada pada kisaran 7-8%.
Meski begitu, Aji menyebut tetap mewaspadai perlambatan ekonomi global, khususnya pelemahan harga komoditas yang akan berdampak signifikan pada performa PPh Badan sepanjang 2023.
“Jadi secara umum, optimis tercapai. Jadi 3 tahun berturut-turut ya mudah-mudahan nanti realisasinya bisa tembus dari 100%,” ujar Aji.
Selain itu, Aji juga mengapresiasi langkah Pemerintah untuk mulai mengurangi ketergantungan sumber penerimaan dari sektor komoditas sumber daya alam yang rentan terfluktuasi, baik melalui hilirisasi SDA maupun optimalisasi sektor-sektor lainnya.
Di sisi lain, Aji menuturkan bahwa strategi yang ditempuh Pemerintah baik melalui reformasi administrasi maupun kebijakan perpajakan yang berlandaskan pada UU HPP sangat penting dalam mendorong peningkatan penerimaan di 2023 ini, karena terbukti penerapan UU HPP dapat meningkatkan realisasi penerimaan negara di sektor pajak. Sementara dari sisi kebijakan, Aji berharap ketentuan teknis turunan UU HPP atau Peraturan Menteri Keuangan dari beberapa instrumen yang belum memiliki ketentuan teknis, dapat segera terbit.
Adapun beberapa kebijakan yang dinantikan ketentuan teknisnya antara lain mengenai anti penghindaran pajak, rencana penunjukan penyedia platform marketplace dalam e-commerce sebagai pemotong/pemungut pajak, serta ketentuan teknis pajak natura atau pajak atas fasilitas atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan dalam bentuk barang kepada pegawai atau karyawan.
“Nah hal-hal itulah yang tentu kita tunggu sehingga jika ketentuan ini terbit, pasti baik dari sisi administrasinya maupun dari sisi policy nya bisa berjalan beriringan sehingga lebih kokoh penerimaan pajak kita di kemudian hari, terutama di tengah pelemahan harga komoditas,” papar Aji.
Hingga akhir Mei 2023, penerimaan pajak dari seluruh sektor utama tercatat tumbuh positif meskipun mayoritas melambat dibandingkan periode sama di 2022. Seperti halnya industri pengolahan dan perdagangan yang berkontribusi cukup besar terhadap penerimaan pajak masing-masing tumbuh hanya sebesar 9,4% dan 9,3%, dibandingkan periode sama di 2022 yang masing-masing tumbuh sebesar 50,9% dan 61,6%. Sementara dari sektor pertambangan masih tumbuh positif sebesar 62,9%, meski melambat dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai 259,7%.
Untuk itu, pemerintah juga terus berupaya melakukan optimalisasi penerimaan pajak dengan menjaga rasio pajak terus meningkat secara bertahap. Upaya tersebut ditempuh antara lain dengan melakukan optimalisasi perluasan basis perpajakan melalui pengawasan wajib pajak (WP) sebagai tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) serta implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP yang mulai wajib berlaku pada 1 Januari 2024. Aji berpendapat, hal itu akan sangat bermanfaat untuk menutup celah compliance gap di Indonesia.
“Di 2021, ada 140 juta angkatan kerja di Indonesia, tapi hanya 61,5 jutanya saja yang punya NPWP. Dengan adanya integrasi penggunaan NIK sebagai NPWP, ini memungkinkan sejak awal ada pemetaan (wajib pajak) atau masuk dulu dalam radar otoritas,” lanjut Aji.
Di samping penggunaan NIK sebagai NPWP, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu (DJP) saat ini juga tengah mempersiapkan implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau Core Tax Administration System (Core Tax System), yaitu merupakan sebuah sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP. Dimana, pemberlakuan Core Tax System telah tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.
Aji sepakat bahwa core tax system bisa mendorong penerimaan pajak melalui peningkatan kepatuhan. Sistem pengelolaan pajak yang terdigitalisasi menurut Aji juga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, penguatan kepastian hukum di bidang perpajakan, penguatan tata cara penegakan hukum di bidang perpajakan, serta pengenaan sanksi pajak yang lebih proporsional.
“Jadi dua instrumen ini, yaitu core tax system dan juga penggunaan NIK sebagai NPWP. Ini menurut saya adalah terobosan administrasi yang paling penting dan akan menentukan keberhasilan penerapan pajak kita di tahun ini dan tahun mendatang,” pungkas Aji.(*)
Related News
Potensi Aset Rp990 Triliun, Asbanda Siap Dukung Pembiayaan PSN
Ajak Investor Inggris Investasi di EBT, Menteri Rosan Buka Peluangnya
PKPU Pan Brothers (PBRX) Soal Utang Rp6,25T Diperpanjang 14 Hari
Maya Watono Kini Pimpin InJourney, Ini Profilnya
Pascapemilu, Investor Global Kembali Pindahkan Portofolionya ke AS
Belum Berhenti, Harga Emas Antam Naik Lagi Rp12.000 per Gram