EmitenNews.com - Pasar saham Indonesia sedang dihadapkan pada ketidakpastian baru setelah muncul wacana perubahan metodologi free-float oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI).

Dalam pengumuman terbarunya, MSCI berencana memperbarui cara perhitungan porsi saham yang dianggap “bebas diperdagangkan” atau free-float, dengan melibatkan data kepemilikan investor dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Proses konsultasi publik dijadwalkan berlangsung hingga akhir 2025, dengan pengumuman final pada Januari 2026, dan implementasi penuh index review pada Mei 2026.

Meskipun belum resmi diterapkan, kabar ini sudah cukup untuk mengguncang sentimen pasar. Banyak saham besar langsung tertekan, terutama yang terkait dengan kelompok usaha konglomerasi yang struktur kepemilikannya kompleks.

Apa Itu Free-Float dan Mengapa Penting dalam Indeks MSCI?

Free-float adalah porsi saham suatu perusahaan yang tersedia untuk diperdagangkan oleh publik. MSCI, sebagai penyusun indeks global yang menjadi acuan utama investor institusional, hanya menghitung saham yang benar-benar bebas beredar di pasar.

Jika sebuah emiten memiliki 10 miliar lembar saham, tetapi 70% dipegang oleh pemilik mayoritas atau afiliasi, maka hanya 30% yang dianggap free-float. Porsi inilah yang digunakan MSCI untuk menentukan bobot saham dalam indeks seperti MSCI Indonesia dan MSCI Emerging Markets.

Konsekuensinya, jika MSCI menilai free-float suatu saham lebih kecil dari sebelumnya, maka bobotnya di indeks otomatis berkurang. Investor global yang mengacu pada indeks tersebut dapat melakukan penyesuaian portofolio dengan menjual sebagian kepemilikan, yang berpotensi menekan harga saham di pasar.


Mengapa MSCI Ingin Mengubah Metodologi di Indonesia?

Selama ini, MSCI menghitung free-float berdasarkan laporan publik perusahaan dan data yang tersedia di bursa. Namun, di Indonesia, struktur kepemilikan yang saling silang antar perusahaan dalam satu grup membuat data ini sulit diinterpretasikan secara objektif.

Dengan melibatkan data KSEI, MSCI dapat melihat siapa pemegang saham sebenarnya—apakah publik independen, institusi, atau bagian dari kelompok usaha yang sama. Tujuannya adalah menciptakan gambaran yang lebih realistis tentang likuiditas dan kepemilikan di pasar Indonesia. 

Langkah ini juga sejalan dengan tren global menuju transparansi yang lebih tinggi dalam perhitungan indeks. Namun, di sisi lain, hal ini dapat menurunkan estimasi free-float bagi perusahaan besar yang selama ini bergantung pada kepemilikan silang. Artinya, saham-saham yang tampak likuid di permukaan bisa kehilangan bobot besar dalam indeks global.


Saham Konglomerasi Jadi Sorotan Utama

Wacana perubahan ini langsung menimbulkan spekulasi di pasar. Banyak investor menyoroti kelompok usaha besar, terutama di sektor perbankan, telekomunikasi, dan konsumsi yang memiliki jaringan kepemilikan rumit. Jika sebagian kepemilikan antar anak usaha dikategorikan sebagai non-free-float, maka nilai free-float mereka akan menurun drastis.

Akibatnya, beberapa saham blue chip bisa terancam keluar dari indeks MSCI Indonesia atau mengalami pengurangan bobot signifikan. Tekanan jual pun muncul sejak awal Oktober 2025, seiring investor global mengantisipasi potensi penyesuaian portofolio menjelang implementasi kebijakan baru tersebut.

Bagi investor domestik, situasi ini memunculkan dilema: “Apakah perlu panik mengikuti arus jual asing, atau justru melihat peluang dari koreksi harga sementara?”


Dampak Jangka Pendek dan Panjang bagi Pasar

Dalam jangka pendek, wacana perubahan metodologi ini memang menimbulkan volatilitas tinggi. Banyak pelaku pasar memilih bersikap hati-hati sambil menunggu kejelasan final dari MSCI.