Badai Koreksi di Tengah Optimisme G20, Apakah Asing Tetap Setia?
Ilustrasi Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) disertai dinamika penguatan serta penurunan indeks.
Mengapa Asing Setia: Thesis Undervaluation Pasar RI
Fakta bahwa dana asing terus masuk secara masif di tengah sinyal badai global menunjukkan bahwa smart money berpegang teguh pada analisis valuasi dan fundamental struktural Indonesia.
Kekuatan Fundamental yang Tak Terbantahkan
Pertumbuhan PDB 5,04% di Kuartal III-2025 adalah sebuah anomali positif yang memberikan earnings growth stabil bagi emiten. Proyeksi pertumbuhan laba perusahaan diperkirakan mencapai 16-20% tahun ini. Sementara negara maju berjuang dengan inflasi dan stagnasi, Indonesia menunjukkan pengendalian makro yang efektif dengan inflasi yang diproyeksikan moderat (1.9% di 2025).
Pertumbuhan Indonesia yang didorong oleh konsumsi domestik ini memberikan jaring pengaman alami terhadap perlambatan perdagangan global. Sinyal fundamental yang superior ini memberikan jaminan profitabilitas jangka panjang yang dicari oleh investor institusi.
Valuasi Komparatif sebagai Magnet Investasi
Alasan utama investor asing berani masuk saat ada peringatan koreksi adalah adanya diskonto valuasi struktural yang jelas di IHSG. Pasar Indonesia diperdagangkan pada trailing P/E ratio sekitar 15.75 (Oktober 2025).
Angka ini jauh lebih menarik dibandingkan pasar emerging market lain di Asia Pasifik, seperti India, yang diperdagangkan pada P/E 25.43, atau bahkan Korea Selatan (17.90). Kombinasi antara pertumbuhan PDB tertinggi di G20 dan P/E ratio yang relatif rendah menciptakan window of opportunity struktural. Investor asing melihat pasar RI sebagai deep value yang menjanjikan upside besar melalui re-rating di masa depan. Koreksi global justru dipandang sebagai kesempatan emas untuk mengakumulasi aset berkualitas pada harga diskon.
Konsentrasi Foreign Flow dan Target Sektoral
Aliran dana asing yang masuk tidak bersifat spekulatif melainkan strategis. Pembelian asing terkonsentrasi di sektor yang defensif dan merupakan proksi langsung dari kekuatan ekonomi domestik.
Sektor keuangan mendominasi net buy asing, di mana saham perbankan besar seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) menjadi target utama. Sektor ini dianggap defensif, sangat diuntungkan dari suku bunga yang stabil, dan memiliki neraca yang kuat, menjadikannya pilihan utama institusi global saat risk-off.
Selain perbankan, PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) juga menjadi incaran utama. Layanan telekomunikasi dianggap resilien karena data merupakan kebutuhan pokok. Pembelian di saham komoditas seperti PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS) juga terpantau, didorong oleh katalis spesifik seperti potensi masuknya emiten tersebut ke dalam indeks MSCI.
Konsentrasi pembelian asing di bank-bank besar, yang sering menjadi bellwether IHSG, menggarisbawahi bahwa flow tersebut adalah investasi strategis jangka panjang yang didasarkan pada keyakinan terhadap prospek earning growth yang solid berkat pertumbuhan PDB 5% ke atas.
Pilar Stabilitas Makro dan Proyeksi Kebijakan
Stabilitas pasar modal Indonesia tidak hanya bergantung pada fundamental perusahaan, tetapi juga pada kebijakan moneter dan fiskal yang cerdas dan hati-hati.
Manajemen Likuiditas dan Kebijakan Moneter BI
Bank Indonesia (BI) telah mengambil sikap yang konsisten dengan mempertahankan BI-Rate untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menjaga stabilitas. Kebijakan ini penting untuk menjamin bahwa profitabilitas perbankan tetap terjaga melalui Net Interest Margin (NIM) yang sehat, sambil menahan laju inflasi.
Related News
Laporan Keberlanjutan (ESG), Risiko yang Terabaikan Investor Ritel
Dividen Perusahaan Tambang Ambil Rasio 100% Laba Bersih, kok, Bisa?
Sinyal Window Dressing, Waktunya Memburu Saham Bagus di November?
Mimpi Besar Pasar Modal Indonesia, Meneropong Optimisme IHSG 32.000
Saham Viral vs Saham Bernilai: Hype yang Menggeser Dominansi Analisis
Wacana Free Float MSCI Mengguncang Pasar, Saham Konglo Tersingkir?





