Buyback Saham: Strategi Korporasi atau Sekadar Menenangkan Pasar?

ilustrasi buy or sell dalam investasi. Dok/EmitenNews
Misalnya akibat aksi korporasi sebelumnya seperti penerbitan saham baru atau konversi obligasi. Dengan buyback, struktur kepemilikan saham bisa kembali diseimbangkan.
Namun, alasan-alasan ini juga dapat dipertanyakan jika tidak dibarengi dengan transparansi dan strategi pertumbuhan jangka panjang.
Dampak Buyback terhadap Harga Saham dan Investor
Dalam jangka pendek, buyback hampir selalu disambut baik oleh pasar. Dengan permintaan yang meningkat dan penurunan pasokan saham, secara logis harga saham akan terdorong naik. Tak jarang pula buyback dilakukan saat sentimen pasar sedang negatif, untuk meredam kepanikan dan memulihkan kepercayaan investor.
Namun, efek ini sering kali bersifat sementara. Ketika euforia buyback selesai dan kinerja perusahaan tidak menunjukkan perbaikan nyata, harga saham bisa kembali stagnan atau bahkan menurun.
Banyak studi menunjukkan bahwa dampak buyback terhadap harga saham lebih efektif ketika dilakukan saat valuasi rendah, bukan sebagai respons terhadap tekanan pasar.
Dari sisi investor, buyback bisa menjadi bentuk apresiasi perusahaan terhadap pemegang saham. Namun, investor harus berhati-hati terhadap motivasi di balik aksi ini:
Apakah perusahaan benar-benar memiliki arus kas sehat?
Apakah buyback dilakukan dengan pertimbangan jangka panjang atau hanya untuk memperbaiki tampilan EPS sesaat?
Apakah manajemen memiliki kepentingan pribadi, seperti bonus berbasis harga saham?
Investor juga perlu memperhatikan apakah buyback diikuti oleh aksi kepemilikan saham oleh internal manajemen. Jika manajemen membeli saham secara pribadi bersamaan dengan buyback, itu bisa menjadi sinyal kuat. Sebaliknya, jika mereka justru menjual saham pribadi setelah buyback dilakukan, itu bisa menjadi sinyal negatif.
Kritik dan Risiko di Balik Buyback
Tak sedikit ekonom dan investor senior yang mengkritik praktik buyback, terutama jika dilakukan secara agresif atau tidak didasarkan pada fundamental keuangan yang sehat.
Mengorbankan investasi jangka panjang.
Dana yang seharusnya digunakan untuk ekspansi bisnis, riset dan pengembangan, atau inovasi produk, justru dialihkan untuk membeli saham di pasar.
Menciptakan ilusi kinerja keuangan.
Metrik seperti EPS atau ROE bisa tampak lebih menarik tanpa peningkatan kinerja operasional nyata. Ini berisiko menyesatkan investor, terutama yang tidak mendalami laporan keuangan secara detail.
Related News

Menakar Cuan dari Barang Basah dan Kering Ketika IPO Saham

Trading Dulu Cari Modal, atau Investasi Dulu Bangun Aset?

Perang Konten Finansial: Siapa yang Edukasi, Siapa yang Menyesatkan?

Perusahaan IPO di BEI: Kualitas Terjamin atau Hanya Kejar Target?

Investor Dilema: Saham Konglomerasi Geser Dominasi Blue Chip

Upbit Indonesia Dukung PP 28/2025 Demi Masa Depan Blockchain Indonesia