Saham Viral vs Saham Bernilai: Hype yang Menggeser Dominansi Analisis
Ilustrasi pergerakan indeks harga saham tengah menguat.
EmitenNews.com - Pasar saham Indonesia belakangan ini terasa bagai panggung hiburan ketimbang arena investasi. Setiap minggu ada saja saham yang menjadi bahan perbincangan alias viral di media sosial, ramai di grup Telegram, dibahas oleh influencer keuangan, dan mendadak jadi incaran investor ritel.
Tidak jarang, saham tersebut melonjak tajam hanya karena “ramai dibicarakan”, bukan karena kinerja perusahaannya membaik.
Fenomena ini menandakan pergeseran paradigma di kalangan investor muda, “Investasi kini tidak lagi sepenuhnya didorong oleh analisis fundamental, melainkan oleh hype.”
Dalam ekosistem yang didominasi narasi dan trending topic, saham bisa naik bukan karena nilainya, melainkan karena namanya viral.
Era Saham Viral: Ketika Sentimen Mengalahkan Data
Media sosial telah mengubah cara investor berinteraksi dengan pasar modal. Dahulu, keputusan investasi didasarkan pada laporan keuangan, proyeksi laba, dan analisis makroekonomi. Kini, keputusan sering kali diambil setelah melihat video TikTok berdurasi 30 detik atau cuitan viral yang mengatakan, “Saham ini bakal to the moon!” Fenomena ini tidak unik di Indonesia, di Amerika Serikat kasus GameStop dan AMC pernah mengguncang pasar dunia karena dorongan komunitas ritel di Reddit.
Namun, di Indonesia, efek viral lebih kuat karena investor ritel tumbuh pesat dan masih banyak yang minim literasi keuangan. Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), lebih dari 60% investor saham saat ini berusia di bawah 35 tahun. Mayoritas mendapatkan informasi investasi dari media sosial, bukan dari laporan resmi atau riset sekuritas. Ini menciptakan ekosistem di mana perhatian publik menjadi mata uang baru pasar saham.
Hype Sebagai Mesin Penggerak Harga
Ketika sebuah saham viral, likuiditasnya meningkat tajam. Banyak investor masuk secara bersamaan, berharap bisa take profit sebelum harga turun. Dalam waktu singkat, harga bisa naik puluhan hingga ratusan persen, menciptakan euforia yang mendorong lebih banyak orang ikut masuk. Fenomena ini dikenal sebagai herd behavior—perilaku ikut-ikutan karena takut ketinggalan (fear of missing out atau FOMO). Namun, seperti halnya balon udara, semakin cepat mengembang, semakin rentan meledak.
Setelah euforia memudar, harga saham viral sering kali kembali ke level fundamentalnya, atau bahkan jatuh di bawah harga awal. Para investor yang datang terlambat akhirnya menjadi korban hype, bukan penikmat keuntungan. Saham viral cenderung memiliki karakteristik yang sama: harga naik tanpa berita fundamental positif, volume perdagangan melonjak drastis, dan narasi yang menggoda seperti “saham masa depan” atau “pemenang era digital.” Dalam banyak kasus, perusahaan yang bersangkutan bahkan belum membukukan laba bersih.
Saham Bernilai: Tenang tapi Tumbuh
Di sisi lain, saham bernilai (value stocks) sering kali tidak mendapat sorotan. Perusahaannya stabil, konsisten menghasilkan laba, dan memiliki manajemen solid, namun harganya tidak fluktuatif atau menarik perhatian media sosial. Saham-saham seperti ini cenderung bergerak pelan tapi pasti atau menawarkan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.
Warren Buffett pernah berkata, “Investing is not about buying what’s popular, but what’s valuable.”
Namun dalam aktualisasi praktiknya, banyak investor muda lebih tertarik pada sensasi jangka pendek dibandingkan stabilitas jangka panjang.
Mereka lebih memilih saham yang bisa “meledak” dalam semalam daripada yang tumbuh konsisten selama bertahun-tahun. Padahal, saham bernilai adalah tulang punggung portofolio yang sehat. Ia mungkin tidak viral, tapi menawarkan compounding return yang kuat. Dalam jangka panjang, perusahaan dengan kinerja solid akan selalu lebih tahan terhadap gejolak pasar dibanding perusahaan yang hanya hidup dari narasi.
Peran Finfluencer dan Budaya Kejar Cuan Cepat
Tidak dapat dipungkiri, financial influencer (finfluencer) memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik terhadap saham. Banyak dari mereka dengan cepat mengulas saham tertentu tanpa menyebutkan risikonya, sering kali hanya menonjolkan potensi keuntungan.
Related News
Mimpi Besar Pasar Modal Indonesia, Meneropong Optimisme IHSG 32.000
Wacana Free Float MSCI Mengguncang Pasar, Saham Konglo Tersingkir?
The Fed Melonggar, Trump–Xi Damai: Sinyal Ganda untuk Pasar RI?
Saham Konglo: Antara Euforia dan Realita
Danantara Gelontorkan Rp16 T, Apa Dampaknya ke Likuiditas Pasar Modal?
Kinerja Perekonomian Indonesia 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran





