Saham Viral vs Saham Bernilai: Hype yang Menggeser Dominansi Analisis
Ilustrasi pergerakan indeks harga saham tengah menguat.
Masalah muncul ketika audiens mereka, yang sebagian besar investor pemula, menelan informasi tersebut mentah-mentah tanpa riset lanjutan.
Dalam beberapa kasus, saham yang dipromosikan viral kemudian anjlok tajam, menimbulkan kekecewaan dan hilangnya kepercayaan publik terhadap pasar modal. Fenomena ini juga diperburuk oleh algoritma media sosial yang mendorong konten sensasional. Postingan dengan judul seperti “Cuan 100% dari Saham Ini!” atau “Jangan Ketinggalan Saham yang Akan Terbang!” lebih mudah viral dibanding analisis fundamental yang panjang dan membosankan. Akibatnya, noise mengalahkan knowledge.
Pasar yang Rasional Mulai Terkikis
Ketika hype menjadi pendorong utama harga saham, fungsi pasar sebagai alat alokasi modal menjadi kabur. Dana publik tidak lagi mengalir ke perusahaan dengan kinerja terbaik, melainkan ke perusahaan yang paling banyak dibicarakan. Ini menciptakan distorsi harga dan berisiko menimbulkan gelembung (bubble). Selain itu, perilaku spekulatif yang terus-menerus juga bisa merusak kepercayaan terhadap pasar.
Investor yang sering rugi karena ikut saham viral mungkin akan kapok berinvestasi, dan menganggap pasar saham hanya permainan orang dalam. Padahal, masalahnya bukan pada pasar, melainkan pada perilaku investornya. Jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia bisa menghadapi generasi investor yang tumbuh dengan mindset spekulatif, bukan produktif. Padahal, peran investor ritel sangat penting dalam mendukung pembiayaan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Membangun Kembali Budaya Investasi yang Sehat
Fenomena saham viral seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak yakni, regulator, pelaku pasar, dan investor itu sendiri. Edukasi finansial harus difokuskan pada analisis nilai, bukan pada sensasi harga.
Investor perlu belajar memahami laporan keuangan, menilai rasio valuasi, dan membedakan antara saham murah dan saham undervalued.
BEI dan OJK juga perlu memperkuat literasi keuangan publik dan mengawasi penyebaran informasi menyesatkan di media sosial. Perusahaan sekuritas bisa berperan dengan menyediakan riset yang mudah diakses, bukan hanya fitur trading gamified yang menonjolkan sensasi. Di sisi lain, influencer finansial perlu lebih bertanggung jawab. Kredibilitas mereka seharusnya dibangun dari akurasi dan kejujuran, bukan dari viralitas.
Kembali ke Esensi: Investasi Bukan Lomba Siapa yang Paling Cepat Viral
Pasar saham seharusnya menjadi refleksi nilai ekonomi, bukan arena popularitas. Saham viral mungkin memberi keuntungan instan, tapi saham bernilai memberikan ketenangan dan hasil jangka panjang. Dalam dunia investasi, yang penting bukan seberapa cepat harga naik, melainkan seberapa kokoh nilai yang menopangnya. Investor sejati tidak mencari saham yang dibicarakan banyak orang, tapi saham yang akan tetap kuat bahkan ketika tak ada yang membicarakannya lagi. Karena pada akhirnya, hype memudar, tapi nilai akan selalu bertahan.
Related News
Mimpi Besar Pasar Modal Indonesia, Meneropong Optimisme IHSG 32.000
Wacana Free Float MSCI Mengguncang Pasar, Saham Konglo Tersingkir?
The Fed Melonggar, Trump–Xi Damai: Sinyal Ganda untuk Pasar RI?
Saham Konglo: Antara Euforia dan Realita
Danantara Gelontorkan Rp16 T, Apa Dampaknya ke Likuiditas Pasar Modal?
Kinerja Perekonomian Indonesia 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran





