Dalam catatan Jabir, sejak 2020 hingga 2025, keuntungan dari penambangan ilegal di Sulteng ditaksir mencapai Rp100 miliar per bulan. Ia menyoroti aktivitas terbesar terjadi di Kelurahan Poboya, Kota Palu, dengan modus berlindung di balik Kontrak Karya PT Citra Palu Mineral, seperti yang dilakukan oleh PT AKM.

“PT AKM sebenarnya bukan pemilik Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), hanya penyedia alat berat. Tapi dibiarkan karena diduga dilindungi kelompok kuat yang kebal hukum,” jelasnya.

Penambangan ilegal juga marak di Kabupaten Parigi Moutong, Buol, dan Tolitoli. Jabir menyebut modusnya melibatkan kelompok masyarakat dan oknum tertentu, sehingga sulit disentuh oleh aparat.

Di Tambarana, Kabupaten Poso, longsor yang terjadi di lokasi tambang ilegal pada akhir 2024 menewaskan sejumlah warga. Jabir menilai tragedi tersebut mencerminkan abainya pemerintah dalam melindungi nyawa rakyat.

Jabir juga menyoroti kerusakan lingkungan dan infrastruktur yang disebabkan oleh tambang, termasuk sepanjang jalan Palu-Donggala. Ia mencatat ada 32 titik jalan rusak dan lima kali akses jalan putus akibat banjir karena hutan di hulu rusak parah.

“Pembiaran terhadap kejahatan tambang sama saja dengan melindungi kejahatan,” tegas Jabir.

Moh. Jabir mengutip UU No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara RI, yang menegaskan bahwa penegakan hukum adalah fungsi wajib yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. “Jika hukum tidak ditegakkan, wajah penegakan hukum akan selalu bopeng akibat pembiaran.” ***