Investor Tanpa Fundamental: Era Baru Tebak-Tebakan Berskala Nasional

papan perdagangan di Bursa Efek Indonesia menunjukkan saham terkoreksi. Dok/EmitenNews
EmitenNews.com -Beberapa tahun terakhir, pasar modal Indonesia mengalami transformasi drastis. Akses investasi makin mudah, jumlah investor ritel meledak, dan saham kini jadi topik percakapan yang lebih umum dari sebelumnya. Tapi bersama lonjakan itu, hadir pula fenomena yang mengkhawatirkan: semakin banyak investor yang masuk tanpa fondasi pemahaman yang memadai. Mereka membeli saham bukan berdasarkan analisa, bukan karena percaya pada nilai perusahaan, tapi karena "katanya bagus", "rame dibahas", atau “lagi naik.” Inilah wajah baru pasar modal: ramai, berisik, dan penuh spekulasi. Sebuah era di mana investasi berubah menjadi tebak-tebakan berskala nasional.
Dari Rasional Menjadi Emosional
Pasar modal idealnya adalah tempat di mana harga mencerminkan nilai, di mana keputusan diambil berdasarkan analisa data dan proyeksi rasional. Tapi hari ini, narasi itu nyaris jadi mitos. Keputusan beli dan jual tak lagi ditentukan oleh laporan keuangan atau rasio keuangan, melainkan oleh viralitas dan “rasa-rasa.” Sentimen kolektif mendominasi. Investor tak lagi bertanya “apakah perusahaan ini sehat?”, melainkan “apakah saham ini akan naik minggu ini?” Yang lebih tragis, mereka bahkan sadar bahwa mereka tidak paham dan tetap melanjutkan. Mereka tahu mereka hanya mengikuti arus. Mereka tahu mereka membeli sesuatu yang tidak mereka mengerti. Tapi di dunia yang didominasi konten viral dan influencer yang tampil meyakinkan, rasa FOMO (fear of missing out) lebih kuat dari logika.
Konten Singkat, Kerugian Panjang
Media sosial menjadi medan utama pertarungan informasi. Tapi platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts bukanlah ruang untuk pembelajaran mendalam. Konten disajikan dalam potongan satu menit yang harus “menjual” dalam lima detik pertama. Hasilnya? Edukasi investasi berubah menjadi hiburan keuangan. Bukan lagi ajakan untuk berpikir, tapi dorongan untuk bertindak cepat seringkali tanpa pikir panjang.
Saham yang disebut di konten viral langsung mengalami lonjakan volume. Kadang naik, kadang tidak. Tapi yang pasti, mayoritas penonton tidak tahu kenapa mereka membeli. Mereka hanya tahu satu hal: jangan sampai ketinggalan. Maka dimulailah kebiasaan buruk berjamaah: beli saat ramai, panik saat merah, lalu menyalahkan pasar. Yang lebih menyesakkan: influencer-nya pun kadang tidak tahu apa-apa. Mereka bicara dengan percaya diri tentang emiten yang bahkan tidak mereka telusuri secara menyeluruh. Parahnya lagi, banyak dari mereka dibayar diam-diam untuk mempromosikan saham tertentu. Tidak ada disclaimer, tidak ada transparansi, hanya narasi kosong yang dibungkus rapi.
Bursa Jadi Medan Euforia, Bukan Penemuan Nilai
Salah satu fungsi utama pasar modal adalah price discovery proses menemukan harga wajar suatu aset berdasarkan permintaan dan penawaran yang rasional. Tapi ketika permintaan didorong oleh euforia tanpa data, proses ini rusak. Saham bisa melambung tanpa sebab, lalu anjlok tanpa peringatan. Investor yang masuk karena tren, keluar dalam panik. Siklus ini terus berulang.
Bahkan saham-saham gorengan yang jelas-jelas memiliki fundamental buruk bisa melonjak berkali-kali lipat hanya karena dikaitkan dengan cerita spekulatif: katanya mau merger, katanya dapat proyek besar, katanya dikuasai konglomerat. Semua “katanya.” Sementara investor yang masuk dengan uang sungguhan harus menanggung akibat dari cerita kosong itu.
Komunitas Bukan Lagi Tempat Belajar, Tapi Ajang Validasi Kerugian
Dulu, komunitas investor dibangun untuk saling berbagi analisa, informasi, dan pengetahuan. Tapi sekarang, banyak grup dan forum berubah menjadi tempat mencari pembenaran. Saat nyangkut, mereka saling menghibur: “tenang, saham bagus pasti balik.” Ketika anjlok, yang dicari bukan penjelasan, tapi kambing hitam. Bukan data yang jadi rujukan, tapi emosi kolektif.
Lucunya, saat untung sedikit langsung dipamerkan. Saat rugi besar? Diam. Investor muda hari ini diajarkan sejak awal bahwa investasi adalah tentang gaya hidup, bukan pengelolaan risiko. Yang penting portofolio diposting, bukan dipahami.
Edukasi Formal Tidak Berdaya di Hadapan Algoritma
Regulator seperti OJK dan BEI sebenarnya tidak tinggal diam. Mereka membuat program literasi keuangan, edukasi publik, bahkan memperketat pengawasan terhadap penyebaran informasi menyesatkan. Tapi jangkauan mereka kalah jauh dibanding algoritma platform digital. Influencer yang mengunggah video bombastis bisa menjangkau jutaan orang dalam semalam. Sementara seminar resmi kadang hanya dihadiri puluhan orang yang sudah lebih dulu paham. Di sinilah tantangan terbesar literasi finansial hari ini: bukan hanya soal menyediakan informas yang benar, tapi membuatnya relevan dan secepat konten menyesatkan.
Siapa yang Untung, Siapa yang Tertinggal?
Jelas bukan investor pemula. Mereka jadi bahan bakar volatilitas. Mereka masuk saat harga mulai naik, dan keluar saat koreksi tiba. Mereka diajarkan bahwa pasar modal itu mudah, padahal tidak. Mereka tergoda oleh narasi kaya mendadak, tapi tidak dibekali cara berpikir jangka panjang. Yang untung? Pihak yang lebih dulu masuk. Yang menggerakkan narasi. Yang tahu bahwa gelombang euforia hanya sementara. Mereka yang punya pengalaman, data, dan disiplin — atau yang tahu persis bahwa mereka sedang membodohi pasar demi keuntungan pribadi.
Penutup: Investasi atau Ilusi yang Dilembagakan?
Related News

18 Juta Investor Pasar Modal: Dominasi Anak Muda, Apa Poin Pentingnya?

Peluang Investasi di Balik Gejolak IHSG

Era Sri Mulyani Berakhir: Kemana Arah Bursa Saham?

Isu 51% Saham BBCA: Reaksi Pasar dan Dampaknya pada Harga Saham

Saham Bank Besar yang Tertidur : Ditinggalkan Pasar atau Peluang?

Semoga Saham Kita Baik-Baik Saja