EmitenNews.com - Sudah lama sekali menunggak, PT Minarak Lapindo Jaya diminta segera melunasi utangnya. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan bersiap menagih kembali utang Grup Bakrie sebesar Rp2,23 triliun itu. Jumlah itu berasal dari pinjaman Dana Antisipasi Penanganan Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam keterangannya seperti dikutip Tempo, kepala Seksi Hubungan Masyarakat, Erik Susanto pada Jumat (25/10/2024), mengemukakan, piutang negara untuk berkas lapindo itu sedang diurus. 

Sejauh ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengumumkan hasil audit soal masalah ini. Total utang Lapindo Brantas dan Minarak ke pemerintah sebesar Rp2,23 triliun hingga 31 Desember 2020. Jumlah itu dari pokok utang Rp773,38 miliar, bunga Rp201 miliar, dan denda keterlambatan pengembalian Rp1,26 triliun. 

Lapindo Brantas baru membayar Rp5 miliar untuk utang dari dana talangan yang berlangsung pada 2015 dan mesti dibayarkan pada 2019. Namun, seperti kita tahu, masalah ini belum juga terselesaikan.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Rionald Silaban mengungkapkan, soal desakan dari Badan Anggaran (Banggar) DPR soal penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang terjadi pada 2006. DJKN sudah menunjuk kuasa terkait perusahaan milik keluarga Bakrie itu kepada Kejaksaan Agung.

"Kami sudah menyampaikan pandangan kami kepada Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung sudah menyampaikan pandangannya kepada yang bersangkutan," tuturn Rionald Silban usai konferensi pers Peran Strategis Profesi Penilai secara virtual, Jumat, 14 Oktober 2022. 

Sebelumnya, Kepala Banggar DPR, Said Abdullah menyampaikan usulan DPR kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus Lapindo. Politikus PDI Perjuangan itu, menjelaskan pemerintah harus segera menuntaskan penagihan piutang negara atas dana talangan kasus lumpur Lapindo. 

Pengembalian dana tersebut sudah jatuh tempo sehingga DPR mengusulkan agar pemerintah mengambil alih jaminan berupa aset tanah yang kini telah menjadi kolam dan tanggul lumpur.

"Pemerintah wajib memastikan tanah dan bangunan yang pernah ada di kolam lumpur tersebut yang belum diselesaikan ganti ruginya, segera diselesaikan agar memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi korban secara keseluruhan tanpa dikotomi dan diskriminasi," kata Said.

Pernyataan Banggar DPR penting karena berkaitan hak-hak masyarakat sekitar kejadian. Tetapi, ucapnya, pemerintah pada saat yang bersamaan juga harus memastikan bahwa pihak perusahaan bertanggung jawab.

Sebelumnya,Kementerian Keuangan di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) menyerahkan sepenuhnya urusan penagihan utang Lapindo kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) cabang Jakarta.

"Soal Lapindo itu sudah saya serahkan kepada PUPN. Saya sudah serahkan ke PUPN cabang Jakarta. Kami serahkan ke PUPN, sehingga PUPN cabang Jakarta akan memanggil sesuai kewenangan PUPN,” jelas Rionald Silaban, Selasa (20/6/2023).

Kemenkeu sudah berkali-kali menagih, sekaligus berkirim surat kepada PT Lapindo Minarak Jaya (LMJ), dan LMJ pun telah menyampaikan dalilnya. Namun tidak dijelaskan, apa alasan pihak LMJ belum juga melunasi utangnya kepada negara.

Tahun lalu, Rionald juga sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk bisa ikut andil dalam menagih piutang kasus Lapindo tersebut.

Perusahaan Bakrie, yakni PT Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya belum melunasi pembayaran utang kepada pemerintah. Padahal utang tersebut sudah jatuh tempo pada 10 Juli 2019 silam.

Perusahaan milik Keluarga Bakrie terlilit utang saat bencana lumpur menenggelamkan Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemerintah memberikan dana talangan untuk ganti rugi melalui perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007.

Utang Lapindo kepada pemerintah sebesar Rp773,8 miliar dengan bunga 4%. Utang tersebut berasal dari dana talangan yang diberikan pemerintah untuk ganti rugi bencana alam Lumpur Lapindo kepada masyarakat sekitar pada 2007 silam.