Kisah Marsinah, Aktivis Buruh yang Diusulkan jadi Pahlawan Nasional

Marsinah, aktivis buruh asal Nganjuk, Jawa Timur menjadi simbol perlawanan kalangan buruh. Dok. Liputan6.
EmitenNews.com - Mari mengenal Marsinah, aktivis buruh, yang mendapat sokongan Presiden Prabowo Subianto untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Tepat hari ini, Kamis (8/5/2025), genap 32 tahun sejak aktivis buruh asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah, ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Perempuan yang dikenal vokal memperjuangkan hak-hak pekerja itu diculik, disiksa, diperkosa, lalu dibunuh secara keji pada 8 Mei 1993.
Jenazah Marsinah ditemukan keesokan harinya, 9 Mei 1993, di sebuah gubuk kecil di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk—sekitar 200 kilometer dari tempatnya bekerja di PT Catur Putera Surya (CPS), Porong, Sidoarjo.
Hasil otopsi menunjukkan, Marsinah tewas karena penganiayaan berat dan juga diketahui telah mengalami kekerasan seksual.
Seperti ditulis Kompas, Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga sederhana. Setelah sang ibu meninggal dunia saat Marsinah berusia tiga tahun, ia diasuh oleh neneknya, Paerah, dan hidup bersama paman serta bibinya.
Sejak kecil, Marsinah terbiasa bekerja keras. Ia kerap membantu sang nenek menjual jagung dan gabah selepas pulang sekolah. Ia lulus dari SMP Negeri 5 Nganjuk, lalu melanjutkan ke SMA Muhammadiyah dengan biaya bantuan pamannya. Ia berniat kuliah dengan rajin untuk mengejar cita-citanya menjadi sarjana hukum.
Meskipun bercita-cita menjadi sarjana hukum, keterbatasan biaya membuat impiannya kandas. Tahun 1989, Marsinah merantau ke Surabaya dan tinggal bersama kakaknya, Marsini. Ia bekerja di pabrik plastik di Rungkut dan sempat berjualan nasi bungkus untuk menambah penghasilan. Pada 1990, ia pindah ke PT CPS Sidoarjo dan bekerja sebagai buruh pabrik.
Kajian berjudul "Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di Porong, Sidoarjo Tahun 1993–1995" ditulis oleh Iyut Qurniasari dan IG. Krisnadi dari Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember menjelaskan soal kematian Marsinah.
Awal 1993, pemerintah mengimbau perusahaan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen. Namun, PT CPS menolak imbauan tersebut. Hal ini memicu keresahan dan aksi mogok buruh. Marsinah turut terlibat aktif dalam perencanaan mogok kerja yang berlangsung mulai 3 hingga 5 Mei 1993.
Ia menjadi salah satu dari 15 buruh yang berunding dengan manajemen perusahaan. Mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk kenaikan gaji pokok dari1.700 menjadi Rp2.250 per hari, serta tunjangan kehadiran sebesar Rp550 per hari, meski absen.
Namun, pada 5 Mei, pihak militer melalui Kodim Sidoarjo menggiring 13 buruh yang dianggap memimpin aksi ke markas dan memaksa mereka mengundurkan diri.
Marsinah mencari tahu keberadaan rekan-rekannya
Marsinah mendatangi Kodim untuk mencari tahu keberadaan rekan-rekannya. Malam itu, sekitar pukul 22.00 WIB, ia menghilang. Empat hari kemudian, jenazahnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Sejumlah saksi menyebut Marsinah sebelumnya mengancam akan membongkar praktik produksi ilegal di PT CPS. Tak lama setelah surat tersebut dikirimkan, ia menghilang.
Dugaan keterlibatan aparat mulai mencuat ketika proses penangkapan terhadap sejumlah petinggi PT CPS dilakukan secara diam-diam dan tanpa prosedur hukum yang sah. Pada Oktober 1993, sembilan orang ditangkap, termasuk pemilik PT CPS Yudi Susanto dan Kepala Personalia Mutiari yang tengah hamil.
Mereka ditahan tanpa surat penangkapan dan diduga mengalami penyiksaan agar mengakui telah merencanakan pembunuhan Marsinah. Cerita itu dibantah oleh Bakorstanasda, meskipun Pangdam V/Brawijaya saat itu, Mayjen Imam Soetomo, mengakui adanya pelanggaran prosedur pemeriksaan.
Akhirnya, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sementara beberapa staf lainnya dijatuhi hukuman 4 hingga 12 tahun. Namun, semua terdakwa akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung karena bukti yang tidak cukup kuat. Putusan itu menuai kecaman publik, karena dinilai menutupi pelaku sebenarnya.
Kasus Marsinah menjadi perhatian dunia internasional. Sejumlah organisasi buruh dunia seperti AFL-CIO di Amerika Serikat mengecam keras kematian Marsinah. Mereka bahkan mendesak pemerintah AS mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) untuk Indonesia sebagai bentuk tekanan terhadap pelanggaran HAM.
Related News

Dari Perkara Sugar Group-Marubeni, Zarof Ricar Akui Terima Rp50 Miliar

KPK Tegaskan Tetap Berwenang Usut Kasus Korupsi di BUMN

Dipantau Wapres Gibran, Proyek Garapan PTPP Catatkan Progres Positif

Truk ODOL Berseliweran, Butuh Rp41 Triliun Untuk Perbaikan Jalan

Kisah Pilu CPMI Ilegal Bakal Terus Berulang, Mereka Butuh Pekerjaan

Bos Buzzer Tersangka Baru Perintangan Penanganan Tiga Kasus Besar