Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional meningkat 14% atau sekitar 3 juta ton lebih dari kebutuhan. Tetapi harga naik, di sisi lain harga di petani turun. Seharusnya kalau harga di petani naik baru bisa naik di tingkat konsumen.

Kementan kemudian bergerak mengecek langsung 268 merek beras dari 10 provinsi penghasil beras terbesar. Pemeriksaan dilakukan di 13 laboratorium, termasuk Sucofindo, untuk memastikan akurasi hasil.

Dari 136 merek beras premium yang diuji, ditemukan 85,56% tidak sesuai standar mutu, hanya 14,4% yang sesuai. Selain itu, 59,78% dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21,66% berat kemasannya kurang dari yang tertera pada kemasan.

"Jadi ini semua beras curah, tetapi dijual harga premium. Beras curah tapi dijual harga medium. Kerugian masyarakat akibat praktik ini ditaksir mencapai Rp99 triliun," ungkap Amran Sulaiman.

Kementan bekerja sama dengan Satgas Pangan dan Kementerian Perdagangan pun melakukan penindakan. Kemendag menindak, dari 10 sampel yang diambil, 9 yang tidak sesuai, hanya 1 yang sesuai. Jadi kalau dari Kementerian Perdagangan temukan 90%, kalau Kementan temukan 86%.

Hingga 10 Juli 2025, sebanyak 26 merek sudah diperiksa. Beberapa produsen telah mengakui kesalahannya dan bahkan mengirimkan surat resmi kepada pemerintah.

"Dan menurut laporan yang kami terima bahwa mereka mengakui. Sekarang terjadi pergeseran. Jadi sudah ada kesadaran dan mereka tahu," jelasnya.

Pantauan per 15 Juli 2025 menunjukkan adanya perbaikan di pasar. Berdasarkan pengawasan terhadap 712 sampel beras di seluruh Indonesia, kepatuhan HET untuk beras premium meningkat menjadi 57%, sedangkan 43% sisanya masih di atas HET.

Sebaliknya, kondisi beras medium masih sangat buruk, 91,1% dijual di atas HET, dan hanya 8,9% yang sesuai.

Yang jelas, beras stok nasional saat ini cukup, mencapai 4 juta ton. Karena itu, pemerintah memiliki ruang untuk melakukan perbaikan tata kelola beras. Kalau stoknya misalnya 1 juta, pasti pemerintah tidak berani melakukan perbaikan. ***