Saham Bank Besar yang Tertidur : Ditinggalkan Pasar atau Peluang?

ilustrasi bank himbara. Dok/EmitenNews
EmitenNews.com -Memasuki bulan September 2025, jika kita mengamati papan perdagangan Bursa Efek Indonesia, kita akan menemukan sebuah paradoks yang sangat menarik. Di satu sisi, ada saham-saham dari emiten konglomerasi yang sedang gencar berekspansi atau perusahaan yang rajin mengumumkan rencana aksi korporasi seperti rights issue. Saham-saham ini menjadi primadona, ramai diperbincangkan di forum-forum, dan harganya bergerak sangat dinamis, menarik minat para trader dan investor yang agresif. Daya tarik mereka terletak pada 'cerita' – sebuah narasi tentang transformasi bisnis, pertumbuhan eksponensial, dan masa depan yang menjanjikan.
Namun di sisi lain, ada sekelompok saham 'raksasa' yang tampak tertidur. Mereka adalah saham-saham dari bank-bank besar di Indonesia. Jika kita membuka laporan keuangannya, kita akan melihat kinerja bisnis yang sangat solid: laba bersih triliunan Rupiah yang terus bertumbuh, penyaluran kredit yang sehat, dan rekam jejak pembagian dividen yang konsisten.
Mereka adalah 'mesin-mesin uang' paling andal di bursa kita. Anehnya, apresiasi pasar terhadap mereka terasa lesu. Harga sahamnya cenderung bergerak stagnan, bahkan dalam beberapa kasus sedikit menurun. Pertanyaan fundamental yang muncul adalah: mengapa pasar seolah 'meninggalkan' saham-saham berkualitas ini, dan apa artinya ini bagi kita sebagai investor?
Mengapa Pasar 'Meninggalkan' Saham Perbankan?
Fenomena ini dapat dijelaskan dari dua sisi. Pertama adalah daya tarik dari saham-saham lain yang sedang menjadi sorotan. Saham konglomerasi yang melakukan akuisisi besar atau emiten yang mengumumkan rights issue untuk mendanai proyek ambisius menawarkan sebuah narasi pertumbuhan yang tidak linear. Pasar menyukai cerita perubahan yang dramatis, karena ini membuka ruang untuk spekulasi dan potensi keuntungan besar dalam waktu singkat. Para trader dan investor yang berorientasi pada momentum akan secara alami tertarik pada saham-saham yang memiliki 'katalis' berita yang kuat seperti ini.
Kedua adalah faktor dari saham perbankan itu sendiri. Bank-bank besar adalah bisnis yang sudah sangat matang (mature). Pertumbuhan bisnis mereka cenderung stabil dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi sebagian pelaku pasar, kata 'stabil' bisa diartikan sebagai 'membosankan'. Laju pertumbuhannya yang lebih dapat diprediksi dianggap kurang menarik dibandingkan dengan potensi pertumbuhan eksplosif dari saham-saham lain.
Terkadang, ada juga kekhawatiran mengenai kompetisi yang semakin ketat dari bank digital atau potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL) jika kondisi ekonomi sedikit melambat, yang membuat investor mengambil sikap menunggu. Kombinasi antara adanya pilihan lain yang lebih 'menarik' dan sifat bisnis perbankan yang matang inilah yang menyebabkan saham- saham ini untuk sementara waktu kehilangan sorotan pasar.
Sisi Lain dari Koin : Lahirnya Peluang dari Pesimisme Pasar.
Di sinilah seorang investor fundamental harus melihat lebih dalam dan berpikir secara kontrarian. Sikap apatis atau pesimisme pasar terhadap sebuah sektor seringkali justru menciptakan peluang terbaik. Ketika pasar mengabaikan saham-saham bank besar, dua hal menarik terjadi.
Pertama, valuasinya menjadi semakin murah. Valuasi saham sering diukur dengan rasio seperti PER (Price-to-Earnings Ratio) atau PBV (Price-to-Book Value Ratio). Secara sederhana, valuasi ini membandingkan harga saham dengan laba atau nilai buku perusahaan.
Ketika harga saham (P) bergerak stagnan atau turun, sementara laba (E) dan nilai buku (BV) perusahaan terus bertumbuh seiring kinerja bisnisnya yang solid, maka secara otomatis rasio PER dan PBV-nya akan menurun. Ini artinya, Anda sebagai investor mendapatkan kesempatan untuk membeli kepemilikan di 'mesin-mesin uang' tersebut dengan 'harga diskon' dibandingkan beberapa waktu sebelumnya.
Kedua, imbal hasil dividennya menjadi semakin besar. Dividend yield dihitung dengan membagi dividen per saham dengan harga per saham. Ketika harga saham (penyebut) turun, sementara dividen (pembilang) tetap stabil atau bahkan naik karena laba perusahaan bagus, maka secara matematis dividend yield-nya akan meningkat. Bagi investor yang berorientasi pada pendapatan pasif, situasi ini sangat menarik. Anda bisa mendapatkan potensi aliran kas rutin yang lebih besar dari setiap Rupiah yang Anda investasikan.
Analisis Fundamental Jangka Panjang : Menguji Kekuatan 'Raksasa yang Tertidur'.
Tentu saja, harga murah tidak selalu berarti bagus. Kita tetap harus melakukan uji kelayakan fundamental untuk memastikan bahwa 'raksasa' ini memang hanya sedang 'tertidur', bukan 'sakit'. Apa saja yang perlu kita periksa? Pertama, kualitas aset. Lihat rasio kredit bermasalah atau NPL-nya. Apakah masih terjaga di level yang rendah dan aman? Kedua, profitabilitas.
Apakah Net Interest Margin (NIM) dan Return on Equity (ROE) masih tergolong sehat dan salah satu yang terbaik di industri? Ketiga, kecukupan modal. Apakah Capital Adequacy Ratio (CAR) masih sangat tebal, yang menunjukkan bank memiliki bantalan yang kuat untuk menghadapi risiko dan terus berekspansi?
Jika jawaban dari semua pertanyaan fundamental ini adalah "ya", maka kita bisa menyimpulkan bahwa masalahnya bukan terletak pada kinerja bisnis perusahaan, melainkan pada sentimen pasar. Inilah perbedaan krusial yang selalu dicari oleh investor fundamental: perbedaan antara persepsi pasar jangka pendek dengan realitas bisnis jangka panjang.
Jadi, Beli atau Tinggalkan? Sebuah Kerangka Keputusan.
Related News

Isu 51% Saham BBCA: Reaksi Pasar dan Dampaknya pada Harga Saham

Semoga Saham Kita Baik-Baik Saja

Liquidity Provider: Pahlawan Tak Terlihat yang Menyelamatkan Saham FCA

Politik di Senayan Memanas: Apa Dampaknya bagi IHSG dan Investasi?

Suku Bunga BI Dipangkas: Stimulus atau Sinyal Politik?

Kode Domisili Dibuka, Apa dampaknya Untuk Trader atau Investor?