Dalam sebuah Analisa studi yang ditulis oleh Asian Development Bank (ADB), yang berjudul: “Asian Development Outlook 2015” Indonesia hanya memiliki rasio investasi terhadap PDB sekitar 27,4%, jadi rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,4% per tahun. 

Sedangkan pertumbuhan ekonomi China berhasil naik rata-rata 9,9% per tahun dengan ditopang rasio investasi terhadap PDB yang rata-rata 43,3% dalam kurun waktu 2000-2013.

Dibandingkan dengan India dan Vietnam, di periode yang sama kedua negara tersebut justru menikmati rata-rata pertumbuhan ekonominya masing-masing 7,3% dan 6,4%. Sementara itu, rasio investasi terhadap PDB masing-masing 32,4% dan 33,1%.

Untuk menuju menjadi negara maju, negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai tujuan penting yang lebih mulia, yaitu menurunkan kemiskinan dan meningkatkan standar hidup masyarakat. Faktor umum yang menjadi persoalan adalah sebagian besar negara tersebut memiliki keterbatasan dalam membiayai investasi yang diperlukan. Hal tersebut sebenarnya dapat memacu kinerja perekonomian atau biasa disebut dengan istilah saving-investment gap.

Adapun keterbatasan akses terhadap dana atau investasi asing termasuk pinjaman, serta lemahnya dukungan modal merupakan faktor penting yang perlu menjadi perhatian. Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil ikut menghambat upaya untuk mengakselerasi peningkatan penanaman modal guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

BPI Danantara diharapkan dapat memainkan peran penting dalam hal ini. Selain menggerakkan investasi lewat entitas di sektor bawahnya, Danantara juga diharapkan menjadi katalisator bagi masuknya investasi asing ke Indonesia. Dengan begitu, ekonomi Indonesia akan menarik perhatian investor mancanegara untuk menanamkan modalnya.

Danantara memiliki status sebagai lembaga negara dengan tujuan untuk meyakinkan para penanam modal terhadap keseriusan pemerintah yang memiliki cita-cita untuk mendorong ekonomi agar tumbuh di angka 8%. Tentu investasi, yang menjadi kontributor kedua terbesar dalam PDB dari sisi pengeluaran.

Dengan investasi yang semakin menarik dan bergairah, berpotensi besar dalam meredam kegelisahan publik akibat maraknya kasus PHK massal. Tidak dapat dipungkiri bahwa efek pengganda (multiplier effect) investasi terhadap daya serap tenaga kerja dan kemampuan konsumsi masyarakat akan berjalan beriringan, sehingga menjadi harapan baru bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas kebiasaan yang ada.

Harapan baru dari Presiden Prabowo telah dicanangkan melalui Danantara tak sepatutnya berhenti di tengah jalan. Jika dalam praktiknya nanti seandainya masih ada hambatan birokrasi yang belum terselesaikan dalam pengelolaan BUMN nantinya. Maka itu akan menjadi faktor penting kedepannya. Sebab bagi pemerintahan Presiden Prabowo, ini merupakan peluang (opportunity loss) dalam memenuhi janji terhadap pengelolaan negara yang tidak hanya berbuah penyesalan, tapi juga menjadi catatan sejarah yang baik.

Ditemui pada selasa (11/2/2025) di acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2025, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan “di bawah Undang-undang baru BUMN ini, kami akan mengembangkan superholding baru kami, yakni Danantara.” Menurut pria yang akrab disapa Tiko Danantara akan menjadi superholding BUMN yang bisa menggaet investasi untuk Indonesia. Dalam kurun waktu satu bulan kedepan Kementerian BUMN akan menetapkan susunan rincian organisasi. 

Tiko juga berharap dalam kurun waktu tersebut Danantara dapat meluncur. "Mohon bersabar selama sebulan untuk memastikan bahwa ada perincian yang tepat mengenai organisasi ini. Dan kami akan meluncurkan organisasi ini mudah-mudahan dalam waktu sekitar satu bulan ke depan."

Dikutip pada daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pada Pasal 3L disebutkan bahwa organ badan terdiri atas Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana.