EmitenNews.com -Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan dari puncaknya di level 7.900 hingga ditutup pada posisi 6.531,99 pada selasa, 11 Februari 2025. Penurunan ini dipicu oleh anjloknya harga saham-saham berkapitalisasi besar di sektor perbankan, telekomunikasi, dan energi. Selain itu, aksi jual yang terus dilakukan oleh investor asing semakin menekan pasar saham. Merujuk data Bank Indonesia, pada periode 3-6 Februari 2025, investor asing mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 3,29 triliun di pasar saham, dengan total penjualan bersih secara year to date mencapai Rp 2,85 triliun.

Aksi jual besar-besaran oleh investor asing bukanlah hal yang terjadi tanpa alasan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan mereka antara lain disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang tidak menentu, seperti kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), konflik global, hingga perang dagang Amerika Serikat dengan China, Kanada, dan Meksiko yang membuat investor asing menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga membuat investor asing cenderung mengurangi eksposur mereka di pasar saham Indonesia. 

Tentunya dengan data di atas, membuat investor bertanya-tanya masih layakkah berinvestasi di IHSG? Terlebih jika menengok situasi ekonomi Indonesia saat ini, seperti meningkatnya angka PHK dan program-program pemerintah baru yang menuai kontroversi yang menambah pesimisme dikalangan investor. 

Sebagai investor, kita harus memahami bahwa fluktuasi pasar saham adalah hal yang wajar. Penurunan harga saham, terutama pada perusahaan yang memiliki fundamental baik, dapat menjadi peluang investasi yang menarik. Lo Kheng Hong, seorang investor kawakan yang sering disebut sebagai Warren Buffett Indonesia, menyarankan agar investor tidak panik dan justru melihat peluang di tengah penurunan harga saham. 

Lo Kheng Hong menilai dana asing yang keluar, harga saham blue chip yang mengalami penurunan, menandakan bahwa sedang terjadi hujan emas di Bursa Efek Indonesia. Oleh sebab itu, ambillah ember besar untuk menampung hujan emas tadi. Kalau kita menunggu hujan mereda, maka secara otomatis kita sebagai investor tidak akan dapat emas lagi. Ia menegaskan bahwa meskipun investor harus tetap berhati-hati, tidak perlu takut untuk berinvestasi, terutama jika sudah memiliki saham dengan memiliki fundamental yang baik.

Jika kita menegok kebelakang, gejolak IHSG ini bukan pertama kali terjadi. Tercatat beberapa kali terjadi market bearish. Tahun 2008 terjadi krisis global yang menyebakan saham mengalami kerontokan hingga terkoreksi sedalam 60%, tapi pada akhirnya IHSG berhasil bangkit pada tahun 2009 yang berlanjut cukup panjang hingga tahun 2013. Selanjutnya di pertengahan tahun 2013, IHSG kembali mengalami bearish ketika The Fed mulai melakukan tapering off dan di akhir tahun 2015 ketika The Fed menaikkan suku bunga, IHSG berhasil menunjukan perbaikan, hingga tahun 2017 tepatnya di bulan April, IHSG berhasil mencapai all time highnya. Di tahun 2018, perlahan pergerakan IHSG mengalami penurunan kembali hingga terjadi market crash di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.

Dari data di atas dapat kita simpulkan bahwa meskipun IHSG mengalami penurunan yang cukup tajam, hal ini tidak serta merta membuat investasi di pasar saham menjadi tidak layak. Justu, bagi investor yang cermat, kondisi ini bisa menjadi kesempatan emas untuk melakukan akumulasi saham-saham berfundamental baik dengan harga yang lebih terjangkau. 

Selain itu, perlu diingat bahwa kejadian seperti ini tidak terjadi setiap tahun. Market crash atau koreksi tajam dalam pasar saham merupakan fenomena yang jarang terjadi, dan justru sering kali menjadi titik awal bagi kebangkitan pasar di masa depan. Oleh karena itu, investor yang cermat dapat memanfaatkan momen ini untuk mengoptimalkan peluang investasi sebelum pasar kembali pulih dan saham-saham kembali ke valuasi wajarnya. Hal ini mengingatkan kita pada pesan bijak dari  dari Warren Buffett yang mengatakan bahwa ‘takutlah saat orang lain serakah, serakahlah saat orang lain takut’. Namun, yang perlu menjadi catatan bahwa kita sebagai investor ritel tidak boleh sembarang dalam memilih saham saat memutuskan menambah investasi ditengah tren penurunan harga saham.

Ada beberapa strategi berinvestasi yang dapat diterapkan oleh investor, diantaranya adalah memilih saham dengan fundamental yang kuat seperti kinerja bisnis yang stabil, memiliki pertumbuhan laba yang konsisten, dan memiliki utang yang terkendali. Selanjutnya, lakukan diversifikasi portofolio atau sebarkan investasi ke berbagai sektor untuk mengurangi risiko. Lakukan investasi bertahap atau dollar cost averaging agar mendapatkan harga rata-rata yang lebih baik. 

Selain itu, terapkan strategi investasi jangka panjang dengan fokus pada saham berkapitalisasi besar dan memiliki kinerja keuangan yang solid. Yang tidak kalah penting adalah tetap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Selalu lakukan evaluasi kembali tujuan investasi dan sesuaikan dengan keadaan pasar saat ini. Investor harus tetap waspada terhadap perkembangan ekonomi global dan domestik yang dapat mempengaruhi pergerakan pasar saham. Memantau berita ekonomi terkini, laporan keuangan perusahaan, serta analisis pasar dari sumber terpercaya dapat membantu dalam pengambilan keputusan investasi yang lebih informasional.