Sikap Prabowo ke Saham: Ketegasan Politik atau Ketidaktahuan Ekonomi?

presiden prabowo saat sarasehan bersama para menteri dan pelaku ekonomi. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Pasar saham Indonesia mengalami guncangan besar pada Selasa, 18 Maret 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 7 persen pada pukul 11.50 WIB, memaksa otoritas bursa menghentikan sementara perdagangan saham. Anjloknya IHSG ke level 6.084 ini tidak hanya menghapus ratusan triliun rupiah kapitalisasi pasar, tetapi juga mengguncang para investor, baik domestik maupun asing.
Namun yang menjadi sorotan bukan hanya angka merah di layar-layar perdagangan, melainkan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang terdengar santai menanggapi krisis ini. “Harga saham boleh naik turun. Pangan aman, negara aman. He… hehe.’ Sebelumnya, Presiden Prabowo juga pernah mengatakan bahwa, “rakyat di desa-desa tidak punya saham”, Pernyataan Presiden ini seolah ingin menegaskan bahwa fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak akan membawa dampak apa-apa terhadap perekonomian Indonesia.
Pernyataan ini menuai berbagai reaksi. Sebagian memandang sikap Presiden ini mencerminkan ketenangan dan fokus pada isu-isu seperti ketahanan pangan. Namun sebagian yang lain menilai pernyataan tersebut kontradiktif terhadap arah pembangunan ekonomi yang ingin dituju pemerintah, yaitu pertumbuhan tinggi melalui investasi.
Lalu benarkah penurunan harga saham akhir-akhir ini tidak akan berdampak pada ekonomi nasional?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah indikator utama yang mencerminkan kinerja pasar modal Indonesia. Dimana IHSG bukan hanya milik segelintir pemain di bursa. Di balik pergerakannya, tersimpan dampak luas terhadap ekonomi nasional. Beberapa alasan mengapa IHSG sangat penting bagi perekonomian negara di antaranya adalah IHSG merupakan cerminan kepercayaan investor. Jika IHSG turun tajam, itu menandakan kepercayaan investor melemah, baik terhadap stabilitas politik arah kebijakan ekonomi, maupun kondisi global.
Selain itu, banyak perusahaan besar di Indonesia menghimpun dana melalui pasar modal. Anjloknya IHSG membuat investor enggan menanamkan modalnya, sehingga perusahaan kesulitan mencari pembiayaan ekspansi, membayar deviden, dan menciptakan kerja bagi masyarakat. Bukan hanya investor kelas atas, dana pensiun, asuransi, dan reksadana juga menanamkan dananya di saham. Anjloknya IHSG bisa menggerus nilai investasi para pensiunan, karyawan, dan kelas menengah yang mempercayakan masa depannya pada instrumen investasi ini.
Turunnya IHSG tentunya juga bisa berdampak pada komsumsi, investasi, dan bahkan daya beli masyarakat. Seperti diketahui, perusahaan yang sahamnya terpuruk cenderung menunda ekspansi bahkan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tentu saja akan berefek pada keberlangsungan ekonomi masyarakat luas.
Kembali lagi ke pernyataan Presiden yang mengungkapkan bahwa ‘orang desa tidak punya saham’ secara statistik mungkin benar dalam pengertian sempit. Akses masyarakat desa terhadap pasar modal memang masih rendah. Namun dipahami bahwa dampak dari pasar saham tidak terbatas hanya pada investor langsung.
Masyarakat yang tinggal di desa juga menjadi bagian ekosistem ekonomi yang lebih besar. Ketika perusahaan besar mengalami kerugian karena sahamnya anjlok, dampaknya bisa terasa ke rantai pasokan hingga sektor informal di desa. Misalnya saja petani yang memasok bahan baku ke perusahaan makanan atau ritel modern akan terdampak jika perusahaan tersebut mengurangi produksi karena kesulitan modal.
Presiden Prabowo memiliki ambisi besar dalam hal pertumbuhan ekonomi. Dalam berbagai pidatonya, ia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 7-8 persen per tahun. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, salah satu kunci adalah menarik investasi dalam jumlah besar, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, pernyataan-pernyataan Presiden terkait pasar modal justru mencerminkan ketidaktertarikan terhadap instrumen penting dalam arsitektur ekonomi tersebut. Presiden pernah menyamakan investasi saham dengan berjudi, dan kini menyebut bahwa rakyat di desa tidak bermain saham sehingga tidak perlu khawatir terhadap anjloknya IHSG.
Pernyataan ini tentu saja kontradiktif dengan semangat untuk menciptakan iklim investasi yang sehat untuk investor, terutama asing yang kita ketahui sangat memperhatikan sikap kepala negara. Ketika pemimpin tertinggi menunjukkan sikap kurang peduli terhadap gejolak pasar modal, kepercayaan terhadap stabilitas kebijakan pun bisa menurun. Hal inilah yang mungkin menjadi salah satu faktor dari beberapa faktor yang menjadi penyebab investor asing mulai keluar dari pasar saham Indonesia. Selain dari faktor eksternal seperti kebijakan agresif Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Kepedulian terhadap pasar modal bukan berarti tunduk pada kepentingan elit atau ‘pemain bursa’. Pemerintah perlu melihat pasar modal sebagai bagian dari ekosistem ekonomi nasional yang sehat. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi umumnya memiliki pasar modal yang kuat dan stabil.
Ketidakpedulian tidak selalu berart intervensi langsung. Pemerintah cukup memberikan kepastian hukum, menjaga stabilitas makroekonomi, dan memberikan sinyal-sinyal positif bagi dunia usaha. Hal ini bisa diwujudkan melalui kebijakan fiskal, kepastian hukum dalam berusaha, edukasi literasi keuangan ke seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong inklusi keuangan keuangan termasuk di desa-desa. Dengan cara ini, pasar modal bisa tumbuh dan menjadi kendaraan pembangunan yang adil dan merata.
Ke depannya, Indonesia perlu memiliki arah pembangunan ekonomi yang lebih terintegrasi. Pasar modal tidak bisa terus menerus dianggap sebagai alat spekulasi atau arena judi. Ia adalah pilar pendanaan pembangunan, pencipta lapangan kerja, dan sumber kemakmuran nasional. Pernyataan Presiden seyogianya menjadi pemicu evaluasi mendalam: apakah pemerintah telah cukup memahami peran pasar modal? Apakah kita siap mengarahkan ekonomi modern yang inklusif, dimana desa dan kota sama-sama punya peran dalam pertumbuhan ekonomi?
Membangun ekonomi berbasis rakyat, bukan berarti cuek terhadap pergerakan harga pasar modal. Keduanya bisa berjalan beriringan jika dirancang dengan bijak. Pasar saham yang sehat akan membantu pembiayaan usaha kecil dan menengah, memperluas kepimilikan publik atau perusahaan nasional, dan menciptakan peluang bagi masyarakat desa untuk ikut menikmati hasil pembangunan.
Pernyataan-pernyataan Presiden memang bisa dipahami sebagai upaya untuk menenangkan publik, tapi alangkah baiknya jika disampaikan dengan narasi edukatif- bahwa negara ini tidak hanya butuh swasembada pangan, tetapi juga ‘swasembada kepercayaan investor’. Karena pada akhirnya, negara yang kuat bukan hanya negara yang bisa memberi makan rakyatnya, tapi juga yang bisa mengelola keuangan dan kepercayaan publik dengan cerdas dan berintegritas.
Negara Indonesia bisa mencontoh negara Asia lain yang berhasil menggunakan pasar modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan mempercepat pembangunan ekonomi, seperti India dan Vietnam. India merupakan contoh negara berkembang yang berhasil menjadikan pasar modal sebagai sarana pemberdayaan ekonomi hingga ke pelosok desa. Melalui inisiatif Jan Dhan Yojana (Program Rekening Bank untuk Semua), pemerintah India membuka akses perbankan dan keuangan bagi warga desa. Bersamaan dengan itu, otoritas keuangan seperti SEBI (Securities and Exchange Board of India) meluncurkan program literasi keuangan yang masif, termasuk pengenalan investasi saham. Kini, lebih dari 100 juta warga India dari desa telah mengakses pasar modal, baik secara langsung melalui pembelian saham, maupun secara tidak langsung melalui reksa dana, asuransi, dan dana pensiun. Pemerintah India juga mengembangkan skema “Startup India” yang memungkinkan wirausahawan desa mendapatkan pendanaan dari bursa saham alternatif (SME Exchange).
Related News

Tarif Impor vs Pertumbuhan Ekonomi : Bagaimana Investor Bisa Bertahan?

Dilema Adaro: Mengapa Batu Bara Masih Mendominasi Dibanding EBT?

Dampak Tarif Impor AS: Ancaman bagi Pasar Global dan Ekonomi Indonesia

Lakukan Hal Ini Ketika IHSG dan Saham-Saham Turun Terus

IHSG Tertekan, Investor Wait and See di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Menakar “Indonesia Gelap”: Perspektif Ekonomi dan Politik