EmitenNews.com -Bank Indonesia (BI) kembali memberikan kejutan positif bagi pasar keuangan dan sektor riil pada Agustus 2025. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 19-20 Agustus 2025, BI memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5%. Pemangkasan ini merupakan kali ketiga sepanjang tahun 2025, setelah sebelumnya dilakukan pada Januari dan Mei 2025 masing-masing sebesar 25 bps.

Bagi pasar properti, keputusan ini menjadi angin segar. Turunnya suku bunga akan berdampak pada biaya dana (Cost of Fund/CoF) perbankan, yang pada gilirannya dapat memicu penurunan bunga kredit, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) nonsubsidi. Meski efeknya tidak langsung, beberapa bank sudah mulai mempertimbangkan penyesuaian suku bunga kredit.

Jika tren penurunan BI Rate diikuti oleh turunnya CoF, maka suku bunga KPR nonsubsidi berpotensi turun dalam 2-3 bulan ke depan. Dampak riil terhadap pasar properti biasanya baru terasa dalam jangka 4-6 bulan. Penurunan bunga KPR juga berpeluang menekan rasio kredit bermasalah (NPL) pada segmen nonsubsidi, sehingga menciptakan iklim pembiayaan yang lebih sehat.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak tinggal diam. Sejumlah insentif fiskal dan program strategis perumahan digulirkan untuk mendukung sektor ini. Hal ini semakin menambah optimisme bahwa saham properti bisa bisa kembali dilirik oleh investor pasar modal. Namun, apakah benar momentum saat ini sudah tepat?

Tahun 2025 menjadi titik penting bagi sektor perumahan Indonesia. Pemerintah mencanangkan program ambisius berupa pembangunan 3 juta rumah dalam rangka memenuhi kebutuhan hunian masyarakat. Program ini diharapkan tidak hanya membantu mengatasi backlog perumahan yang saat ini masih tinggi, tetapi juga mendongkrak penyerapan kredit pemilikan rumah.

Bank-bank besar sudah memperkirakan bahwa pertumbuhan KPR berpotensi lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit total yang dipatok sebesar 9%-10% pada 2025. Artinya, sektor properti bisa menjadi salah satu lokomotif kredit, setelah sebelumnya sektor konsumsi dan perdagangan lebih dominan.

Program ini akan menciptakan permintaan struktural baru di pasar properti. Dengan target 3 juta rumah, perusahaan pengembang akan terdorong meningkatkan proyek, sementara sektor pendukung seperti semen, baja, dan material konstruksi juga akan ikut tumbuh. Efek berganda (multiplier effect) dari pembangunan ini dapat menyebar luas ke lapangan kerja, daya beli, hingga ke pasar saham.

Selain faktor moneter, stimulus fiskal dari pemerintah menjadi game changer. Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 28 Juli 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa insentif diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 100% untuk sektor perumahan diperpanjang hingga akhir tahun 2025.

Kebijakan ini sebelumnya hanya berlaku untuk periode Januari-Juni 2025, dengan kelanjutan pada Juli-Desember hanya diskon 50%. Namun, pemerintah akhirnya memperpanjang fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 100% hingga akhir tahun, sebagai bagian dari upaya mendukung sektor properti.

Insentif PPN DTP berlaku untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun dengan harga maksimal Rp 5 miliar. Secara khusus, PPN DTP 100% hanya berlaku untuk hunian dengan harga hingga Rp 2 miliar. 

Keringanan ini jelas akan meningkatkan daya tarik konsumen, terutama kelas menengah yang tengah mempertimbangkan pembelian rumah pertama atau rumah kedua. Dari perspektif pengembang, insentif ini bisa membantu mempercepat penjualan stok rumah, menurunkan risiko unit tak terjual (inventory overhang), sekaligus memperkuat arus kas perusahaan.

Mengapa saham properti saat ini menarik untuk dilirik? Jika melihat kombinasi faktor moneter (suku bunga rendah) dan fiskal (insentif PPN dan Program rumah 3 juta unit), sektor properti ini berada di posisi cukup mengguntungkan. Secara historis, penurunan BI Rate dalam 6-12 bulan biasanya diikuti dengan peningkatan pembelian properti. Belum lagi  dengan adanya PPN 0% untuk rumah hingga Rp 2 miliar, segmen middle class menjadi motor utama. Hal ini tentu saja berpotensi mendorong pengembang dengan portofolio rumah tapak menengah. Selain itu, beberapa saham properti saat ini tercatat diperdagangkan pada Price to Book Value (PBV) di bawah 1x, artinya pasar menilai aset mereka di bawah nilai bukunya. Ini tentu saja bisa menjadi peluang value investing bagi investor.

Meski terlihat menjanjikan, sektor properti tetap bukan tanpa risiko. Investor harus mencermati beberapa hal berikut. Pertama adalah ketidakpastian global, termasuk perang dagang, konflik Timur Tengah, hingga perlambatan ekonomi China yang bisa mengganggu aliran modal asing ke Indonesia. Selanjutnya, meski insentif PPN berlaku hingga Rp 5 miliar, permintaan rumah mewah di atas Rp 2 miliar masih terbatas. Belum lagi, realisasi program perumahan rakyat sering terkendala dengan perizinan, pembebasan lahan, dan pendanaan. Jika eksekusi tersendat, dampaknya ke sektor properti bisa lebih kecil dari yang diharapkan. Selain itu, penurunan suku bunga KPR tidak selalu signifikan, karena bank masih memperhitungkan risiko kredit macet. Selain itu, proses pengajuan KPR tetap cukup panjang dan berlapis. Dan yang terakhir adalah adanya potensi kenaikan harga material konstruksi. Jika harga semen, baja, dan material lainnya melonjak, margin keuntungan pengembang bisa tertekan meski penjualan meningkat.

Untuk itulah, investor perlu tetap bersikap selektif. Tidak semua emiten properti akan merespon stimulus ini dengan kinerja gemilang. Emiten dengan portofolio rumah tapak menengah, pengelolaan utang yang sehat, dan landbank strategis kemungkinan besar akan lebih diuntungkan dibandingkan emiten yang hanya mengandalkan segmen premium. 

Momentum penurunan suku bunga dan insentif pemerintah bisa menjadi awal kebangkitan sektor ini, namun investor perlu tetap realistis bahwa pemulihan umumnya tidak terjadi seketika, melainkan bertahap dalam beberapa kuartal ke depan.