IPO Bertubi-tubi, Investor Seakan Main Kartu: Mana Meledak Mana Gagal?

ilustrasi IPO. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Pasar modal Indonesia sedang mengalami fase yang bisa disebut luar biasa, sekaligus mengkhawatirkan. Dalam rentang waktu beberapa bulan terakhir, gelombang IPO datang silih berganti tanpa jeda. Setiap minggu, bursa diramaikan oleh kehadiran emiten baru, dari yang memang punya fundamental kuat hingga yang nama dan model bisnisnya belum dikenal publik. Antusiasme tinggi menyambut setiap pencatatan perdana, terutama dari kalangan investor ritel.
Namun, di balik kegembiraan itu, muncul pertanyaan besar: apakah banjir IPO ini menandakan kematangan pasar atau justru sinyal awal dari bubble spekulatif? Apakah ini bentuk partisipasi finansial yang sehat, atau pasar perlahan-lahan berubah menjadi meja judi?
Demam IPO: Investasi atau Euforia Massal?
Pasca-pandemi COVID-19, pasar saham Indonesia mengalami lonjakan besar dalam jumlah investor individu. Dengan dukungan teknologi, aplikasi sekuritas yang mudah diakses, dan kampanye literasi keuangan yang masif, kini membuka akun saham tidak lebih sulit dari membuka akun media sosial. Ini mendorong gelombang investor pemula yang haus akan peluang dan cuan cepat. Fenomena ini tak luput dari perhatian perusahaan yang membutuhkan modal. IPO jadi strategi pendanaan yang menarik: cepat, terbuka, dan bisa mengerek valuasi perusahaan. Hasilnya, banyak perusahaan yang berlomba-lomba listing. Dalam banyak kasus, IPO menjadi ajang 'rebranding' untuk perusahaan kecil yang ingin terlihat besar di mata publik.
Namun, di balik narasi pertumbuhan dan ekspansi bisnis, ada realitas lain yang mencemaskan: banyak IPO justru dimaknai sebagai peluang trading cepat, bukan investasi jangka panjang. Istilah seperti "IPO hunter", "saham ARA", atau "cuan listing" menjadi bagian dari bahasa sehari-hari komunitas investor. Saham yang baru melantai sering kali dibeli bukan karena fondasi bisnisnya kuat, melainkan karena peluang naik dalam dua-tiga hari. Jika naik, dijual. Jika turun, ditinggal. Dalam logika ini, pasar bukan lagi tempat alokasi modal, melainkan arena spekulasi.
Ketika Semua Orang Ingin Jadi Pemenang, Tapi Tak Tahu Apa yang Dimainkan
Investor ritel sering kali masuk ke saham IPO tanpa membaca prospektus, tanpa riset, dan bahkan tanpa tahu perusahaan itu bergerak di bidang apa. Yang mereka tahu: harga IPO-nya rendah, katanya bakal ARA, dan "semua orang" ikut beli. Perilaku ini mirip dengan menarik kartu di meja poker tanpa tahu kartu apa yang dimiliki, hanya berharap itu pemenang. Dalam banyak kasus, strategi ini bisa berhasil sesekali. Tapi saat pasar jenuh, dan permintaan tak lagi setinggi penawaran, saham-saham IPO bisa rontok dalam waktu cepat. Tak sedikit investor yang mendapati dirinya terjebak di harga tinggi, tak bisa menjual, dan akhirnya menyalahkan pasar.
Saham IPO bukanlah jaminan keuntungan. Bahkan, statistik BEI dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar saham yang naik tajam saat IPO justru mengalami koreksi signifikan dalam 3-6 bulan ke depan. Saham yang naik 70% di hari pertama bisa turun 50% dalam waktu seminggu. Lalu, ke mana perginya optimisme itu? Jawabannya: euforia itu semu, dan dibangun di atas narasi, bukan nilai.
Bukan Salah Investor Saja: Sistemnya Ikut Mendorong Spekulasi
Fenomena ini tak bisa hanya menyalahkan investor. Dalam banyak kasus, sistem dan aktor di belakang layar ikut mendorong iklim spekulatif ini.
Underwriter dan Penjamin Emisi. Perusahaan underwriter dan penjamin emisi sering kali memoles citra emiten sedemikian rupa agar terlihat menarik. Mereka menonjolkan pertumbuhan, proyeksi pendapatan, dan potensi pasar, tetapi menyingkirkan risiko dari sorotan utama. Semua disampaikan dalam bahasa yang sulit dimengerti investor awam, atau dalam narasi manis yang menggoda.
Influencer Finansial. Influencer finansial dan media sosial berperan besar dalam menciptakan "IPO frenzy". Banyak konten viral berisi rekomendasi saham IPO tertentu, sering kali tanpa analisis mendalam. Kadang didasarkan hanya pada FOMO atau karena mereka sendiri sudah masuk lebih dulu. Tak jarang, mereka bahkan punya insentif tersembunyi, seperti endorse dari pihak tertentu atau kepentingan pribadi dalam saham tersebut.
Regulator. Regulator belum cukup gesit dalam merespons fenomena ini. OJK dan BEI memang memiliki aturan teknis terkait IPO, tapi belum ada filter kualitas yang mencegah perusahaan 'asal jadi' untuk masuk ke bursa. Yang penting lulus syarat administratif, saham boleh melantai. Padahal, begitu saham tercatat dan diperdagangkan publik, risiko bukan lagi milik emiten semata, tapi menimpa ribuan investor ritel yang mempercayakan uangnya pada sistem.
IPO yang Meledak, dan IPO yang Melempem
Beberapa saham IPO memang berhasil "meledak" naik ratusan persen dalam waktu singkat, dan menciptakan keuntungan luar biasa bagi investor awal. Tapi yang jarang dibahas adalah apa yang terjadi setelah itu. Banyak saham IPO yang volatilitasnya ekstrem dan mengalami penurunan harga drastis saat fase euforia selesai. Beberapa bahkan turun di bawah harga IPO, membuat investor rugi sebelum sempat keluar. Ini bukan hanya soal naik-turun harga, tapi soal kepercayaan.
Ketika terlalu banyak saham IPO gagal menjaga harga, maka investor baru akan kehilangan keyakinan bahwa pasar saham adalah tempat yang adil dan rasional. Pasar kehilangan kredibilitasnya.
IPO seharusnya menjadi pintu masuk perusahaan menuju tahap kedewasaan, di mana mereka bertanggung jawab kepada publik dan menjunjung tinggi tata kelola yang baik. Tapi saat IPO hanya dimanfaatkan sebagai momentum menaikkan valuasi dan 'cashing out' oleh pemegang lama, maka semangat itu hilang. Yang tersisa hanyalah spekulasi.
Related News

Delisting dari BEI: Cerminan Masalah Fundamental atau Strategi Bisnis?

Backdoor Listing: Jalan Pintas atau Jebakan Batman di Bursa Saham?

Kaya tapi Tetap Merasa Kurang: Efek Dunning-Kruger Finansial

Menakar Cuan dari Barang Basah dan Kering Ketika IPO Saham

Buyback Saham: Strategi Korporasi atau Sekadar Menenangkan Pasar?

Trading Dulu Cari Modal, atau Investasi Dulu Bangun Aset?