EmitenNews.com—Bank digital telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kemunculan internet berkecepatan tinggi dan kerangka kerja aplikasi mobile telah memungkinkan layanan keuangan untuk memasuki dunia digital. Didukung oleh peningkatan penetrasi internet di negara ini dan demografi produktif yang besar, layanan keuangan, terutama layanan perbankan, bertujuan untuk menawarkan seluruh produknya secara digital. Hal ini secara signifikan akan mengurangi kebutuhan untuk mendirikan kantor konvensional dan mengurangi beban modal. 

 

Mengutip dari riset yang diterbitkan oleh Pefindo yang dijabarkan oleh Kreshna Dwinanta Armand sebagai analisnya, disebutkan bahwa sementara itu, dunia digital menawarkan kesempatan untuk berkembang dengan cepat. Namun, perbankan pada dasarnya adalah industri yang padat modal. Meskipun bank dapat mengelola pengeluarannya dengan beralih ke digital, bank tetap harus memenuhi modal minimum yang ditetapkan oleh peraturan dan menyiapkan ketentuan yang sesuai. Kami ingin melihat industri perbankan digital dari sudut pandang lembaga pemeringkat, menilai sisi bisnis dan keuangannya, serta dukungan industri dan induknya.

 

Industri perbankan digital adalah bagian dari industri perbankan komersial secara umum. Bedanya, bank digital bekerja sepenuhnya di dunia digital dan berdiri sendiri sebagai perusahaan independen, bukan sebagai unit bisnis dari bank konvensional. Seperti yang tercantum dalam POJK 12/2021, bank digital adalah bank yang melakukan transaksinya secara elektronik dan tidak harus memiliki kantor cabang. 

 

Persyaratan modal untuk mendirikan bank yang benar-benar baru, termasuk bank digital, adalah Rp10 triliun, tetapi untuk bank konvensional yang bertransformasi menjadi bank digital mengikuti persyaratan modal inti yang ditetapkan oleh regulator, yaitu Rp3 triliun. Kami mengamati sejumlah bank digital, di antaranya, PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), PT Allo Bank Tbk (BBHI), PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI), PT Bank Digital BCA (BLU), PT Bank Seabank Indonesia (BBKE), PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO), dan PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK). 

 

“Awalnya, hal ini merupakan proposisi bisnis yang sangat menarik, dengan beberapa bank digital berpikir bahwa mereka dapat menikmati keuntungan sebagai pemain perdana,” tulis Kreshna.

 

Namun, bank digital tidak hanya harus bersaing satu sama lain, tetapi juga harus berhadapan dengan platform digital atau unit bisnis digital dari bank-bank konvensional yang sudah lebih dulu mapan, seperti Jenius dari PT Bank BTPN Tbk, Livin' dari PT Bank Mandiri Tbk, Permata Mobile X dari PT Bank Permata Tbk, TMRW dari PT Bank UOB Indonesia, dan Digibank dari PT Bank DBS Indonesia, dan lain-lain. 

 

Dampak dari kehadiran bank-bank digital ini akan berbeda bagi bank-bank besar dan bank-bank kecil. Bagi bank-bank besar, dampaknya tidak terlalu besar, karena tidak terlalu mengancam, mengingat bank-bank besar tersebut telah memiliki bank digital sendiri di dalam grupnya dalam bentuk unit usaha, anak perusahaan, sister company, bahkan ada yang sudah mengintegrasikan seluruh layanan digitalnya ke dalam super app. 

 

Sementara itu, bagi bank-bank kecil yang bergerak di bidang pinjaman ritel, kemunculan bank-bank digital dapat mengganggu pasar mereka dan menjadi ancaman kompetitif karena memudahkan individu untuk mengajukan pinjaman dan menyimpan uang dengan biaya administrasi yang lebih rendah atau bahkan tanpa biaya administrasi sama sekali. 

 

Namun, bagi industri secara keseluruhan, dampak bank digital belum signifikan, karena secara tradisional akan digerakkan oleh bank-bank besar, di mana 10 bank teratas mempertahankan dominasi lebih dari 60% di pasar. Keberlanjutan dari model bisnis ini juga masih belum terlihat, mengingat keberadaannya yang masih relatif baru yaitu kurang dari 10 tahun.